Rabu, 29 Juli 2009

MAY DAY : Saatnya Buruh Mereposisi Diri

MAY DAY : Saatnya Buruh Mereposisi Diri
2009-05-04 14:07:23 wib

PolitikIndonesia.com: Peringatan Hari Buruh Sedunia atau yang kerap disebut May Day selalu dirayakan dalam bentuk unjuk rasa di berbagai negara, tak terkecuali juga di Indonesia. Ribuan buruh dari berbagai serikat, tumpah ruah di depan Istana Negara (1/5) sebagai salah satu titik strategis yang dipilih untuk menyuarakan aspirasinya.

Mereka berharap tuntutannya didengar para pemuka negeri berpenduduk 120 juta jiwa lebih. Jumat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berada di istananya. Namun itu tak menyurutkan niat para pengunjuk rasa untuk menyuarakan tuntutannya. Aparat dengan sigap memblokir jalan menuju Istana. Dorong-mendorong pun tak terhindarkan, setelah gagal mencapai kesepakatan.

Keprihatinan, nampaknya masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kaum pekerja selama ini. Hal ini disebabkan keberpihakan baik pengusaha maupun pemerintah terhadap kaum buruh, belum mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya dalam mengatur jam kerja, upah yang dinilai masih rendah, sistem kontrak kerja, outsorcing dan masih banyak lagi.

Pendeknya, menurut pengakuan Rudy, Ketua Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), sejak reformasi bergulir, tak satu pun rezim pemerintah yang berkuasa, berpihak kepada buruh. Ia menyontohkan, di saat menghadapi krisis global yang baru lalu, pemerintah tak mampu berbuat apa-apa ketika ribuan buruh di-PHK-kan. “Padahal dengan mem-PHK-kan buruh, sama saja mendorong buruh ke lembah kematian,” katanya.

Seorang aktivis buruh dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM) mengatakan dengan lantang tidak ada satu parpol atau pasangan capres-pun yang berpihak kepada buruh, tani dan nelayan. Karena itu katanya, organisasi rakyat di seluruh Indonesia agar bersatu, mempersiapkan diri bergabung dalam serikat yang ada. Tahap berikutnya, rakyat membutuhkan organisasi politik yang pro pekerja untuk dipersiapkan memperebutkan kepemimpinan di Indonesia di masa mendatang.

Di ranah legislatif, kaum pekerja juga pesimis, calon-calon dewan yang terpilih, mau berpihak kepada mereka. “Ini sangat memprihantinkan,” tambahnya. Ia menyadari untuk melahirkan kepemimpinan negara dan kader-kader parpol yang demikian, butuh proses dan waktu panjang.

Mengapa perjuangan buruh yang sedemikian panjang itu selalu kandas di tengah jalan? Rekson Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtrera Indonesia dalam sebuah paparannya mengatakan, ada beberapa alasan mengapa perjuangan kaum pekerja hingga saat ini tak mencapai hasil yang maksimal.

Pertama, menjamurnya serikat buruh sebagai konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat Tahun 1998. Konvensi tersebut membebaskan buruh membentuk serikat buruh. Bahkan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 ada persyaratan yang sangat lunak dalam mendirikan serikat buruh, yakni cukup dengan 10 orang saja. Tak mengherankan jika di Indonesia sekarang terdapat 87 serikat buruh di tingkat nasional dan ratusan di tingkat daerah. Banyaknya serikat buruh cenderung mendorong fragmentasi, koflik horizontal dan melemahkan perjuangan buruh.

Kedua, Pola pengorganisasian serikat buruh dipersulit dengan perubahan sistem fleksibilitas kerja baru yakni liberalisasi outsourcing dan buruh kontrak sejak Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Diberlakukannya praktik outsourcing dan kerja kontrak membuat buruh menjadi moving target, selalu bergerak dari satu majikan ke majikan lain dengan kondisi kerja berlainan. Situasi seperti ini tak dapat diikuti serikat buruh dengan struktur model lama yang biasanya mengikuti hierarki birokrasi pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten).

Ketiga, gerakan buruh domestik yang ada tak mampu membuka jaringan kerja yang kuat dengan gerakan buruh internasional akibat kian terintegrasinya pasar global dan kuatnya peran korporasi multinasional (MNCs).

Kelemahan lain, selama ini banyak aktivis buruh bergelut dalam tataran menuntut hal-hal yang normatif saja. Misalnya yang terkait dengan kenaikan upah, THR dan pesangon. “Para aktivis belum begitu paham usulan yang bersifat makro seperti konsep pengupahan yang lebih adil, sistem jaminan sosial, konsep peningkatan produktivitas, dan penanggulangan pengangguran. Para aktivis buruh juga cenderung lebih mengedepankan sikap reaktif daripada solutif dalam merespon kebijakan baru,” katanya.

Menurutnya, untuk merespons perubahan sistem ekonomi-politik tersebut, serikat buruh yang ada, perlu menata ulang berbagai gerakan. Reposisi itu diperlukan guna memperkuat relevansi gerakan buruh itu sendiri.[sa/yk]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar