Sabtu, 30 Januari 2010

SKB Lima Menteri Mengorbankan Buruh?

SKB Lima Menteri: Mengorbankan Buruh?

Dua bulan sudah berlaku Surat Keputusan Bersama SKB Lima Menteri soal pengalihan kegiatan usaha di akhir pekan. Yang paling kena dampak SKB ini adalah para buruh. Selain tidak mendapat uang lembur, mereka juga mengeluhkan kurangnya waktu bersama keluarga. Bagaimana cerita para buruh? Bagaimana pula evaluasi terhadap pelaksanaan SKB Lima Menteri tersebut?

Roslan terpaksa mengubah jadwal hidupnya setelah keluar SKB Lima Menteri September lalu. buruh.jpgIa tak lagi bisa melakukan berbagai kegiatan di hari Minggu. Biasanya, warga Bekasi Jawa Barat ini menemani anak tunggalnya beribadah ke gereja. Kini tak bisa lagi. Ia harus bekerja di hari Minggu, setelah SKB Lima Menteri keluar. Tak cuma Minggu, tapi juga Sabtu.

Roslan: Biasanya saya yang bawa dia ke gereja. Kalau saya masuk, ya terpaksa anak saya saya titip sama orang. Tolong bawa anak saya ke gereja. Sebetulnya kan kewajiban kita, kalau hari Minggu bawa anak ke gereja. Soalnya dia sudah terdaftar di sana. Kan ada absen tiap Minggu. Kalau dia tidak dibawa, terpaksa bolos. Setiap tahun kan dihitung, berapa alpanya. Kenapa dia enggak masuk

Roslan bekerja sebagai buruh jahit di sebuah pabrik garmen di Jakarta Utara. Pertengahan September lalu, perusahaan tempatnya bekerja mulai melaksanakan SKB Lima Menteri. Produksi dialihkan dari hari biasa ke akhir pekan. Seluruh buruh perusahaan harus bekerja pada hari Minggu. Tak ada uang lembur. Alasannya, ini melaksanakan aturan pemerintah. Hari libur pun dialihkan ke hari biasa.


Waktu kerja
Roslan mengeluh, bukan saja karena ia tidak bisa beribadah di hari Minggu. Ia pun kekurangan waktu bersama keluarga.

Roslan: Itu buat keluarga saja. Buat keluarga, nyuci, masak. Tapi sekarang nggak bisa lagi. Soalnya Minggu masuk.

Ketika Sabtu-Minggu masih libur, Roslan menghabiskan waktu bersosialisasi dengan tetangga. Seperti ikut arisan ibu-ibu. Atau berjalan-jalan bersama keluarga. Tapi kini tak bisa lagi.

Sudah dua tahun Roslan memburuh dengan waktu kerja delapan jam, per hari dan enam hari seminggu. Pada hari kerja, ia masuk pukul setengah tujuh pagi, hingga pukul tiga sore. Bila ada lembur pada hari Sabtu, jam kerja bisa sampai pukul lima sore.

Tapi dengan Sabtu-Minggu kerja, Roslan kecewa karena tak ada uang lembur. Kalau dihitung-hitung, ia bisa mengantongi tambahan Rp. 70 ribu per hari. Tanpa uang tambahan, pemasukan sangat pas-pasan.

Roslan: Ya tekorlah, transport berapa? Dua kali naik mobil, berarti pulang balik empat kali naik mobil. Pulang pergi berapa? Sekali naik tiga ribu, bolak balik jadi 12 ribu. Belum makan saya. Kalau hari minggu itu enggak ada yang jualan, kan? Terpaksa saya makan bakso atau makan apa, bisa 15 ribu saya makannya, kan? Ya sudah tidak bisa masuk lagi. Yang kita dapat hari ini cukup buat ongkos doang, sama makan. Buat yang di rumah sudah tidak ada lagi.

Roslan lantas mengadu ke Gabungan Serikat Buruh Independen di Jakarta Selatan. Organisasi ini mengadvokasi beberapa perusahaan skala menengah di kawasan Jakarta.


Upah lembur
Pengaduan serupa juga datang dari Siti Malika, seorang buruh asal Cakung, Jakarta Timur. Ia mengaku kekurangan waktu bersama keluarga di akhir pekan, terutama bagi anaknya yang jauh di Purwakarta. Malika bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di Jakarta Timur.

Malika: Pulang kerja mungkin bisa langsung pulang ke kampung, biasa nengokin anak, sorenya dari sini. Tapi dengan hari Minggu masuk, jadi tidak bisa lagi menjenguk anak.

Malika sedikit lebih beruntung dari Roslan. Perusahaan tempatnya bekerja mau membayar upah lembur, saat mengalihkan hari kerja dari hari biasa ke hari Minggu. Maklum, para buruh mengancam tidak masuk kerja bila tidak ada lembur.

Malika: Kayak kemarin itu, hari Minggu masuk. Kami mengancam, tidak mau masuk. Akhirnya bikin kesepakatan hari Minggu dijadiin lembur. Itu mau diberlakukan, cuman ketika mau diberlakukan kami menolak. Tapi kalau setiap mau diberlakukan capek juga negosiasinya. Karena patokan pengusaha ya, itu, SKB Lima Menteri. Jadi rugilah, buat pengusaha juga rugi, sepertinya ya, karena ya, itu, aturan ini disendat-sendat. Kalau dari serikatnya tetep, minta diperhitungkan lembur. Kalau misalkan enggak lembur ya pulang setengah satu.

Rudi HB Daman, Koordinator Gabungan Serikat Buruh Independen, mengatakan telah menerima banyak pengaduan dari buruh yang mengeluhkan hal serupa. Menurut Rudi, kaum buruh sebetulnya menolak SKB Lima Menteri. Pasalnya tidak ada kompensasi, seperti uang lembur. Tapi, kalau menolak bekerja, bisa-bisa mereka diPHK.

Rudi HB Daman: Dengan diberlakukannya SKB Lima Menteri justru akan banyak perusahaan yang akan tutup. Di situ kan disebutkan kalau tidak memberlakukan SKB akan dikenai sanksi pencabutan listrik. Kedua, akan menambah besar jumlah PHK kaum buruh. Ketiga, buruh makin miskin karena pendapatan berkurang. Mereka masuk hari Minggu sedangkan upahnya murah. Secara umum, dalam pandangan kita, diberlakukannya SKB Lima Menteri ini semakin mengintensifkan penindasan dan penghisapan dan membuat semakin miskin, terutama ada kaum buruh.

Keluhan para buruh, kata Rudi, juga tak melulu soal tidak adanya uang lembur. Ada hal lain yang lebih penting, misalnya meningkatkan kualitas hidup. Sekadar istirahat, menenangkan pikiran dan tenaga, bersama-sama dengan anggota keluarga lain yang juga libur di akhir pekan. Itu yang hilang, kata Rudi.

Rudi HB Daman: Ini tidak bisa dilihat semata-mata finansial. Memang tidak ada hukum yang mengharuskan hari libur adalah Minggu. Tapi ini kan sudah menjadi kebiasaan nasional dan internasional, bahkan di dalam konvensi ILO juga ada, itu harus mempertimbangkan keumuman dan kebiasaan. Ini kan sudah menjadi kebiasaan.


Kerja Sabtu dan Minggu
Sudah hampir dua bulan SKB Lima Menteri soal pengalihan hari kerja ini berlaku. Bagaimana evaluasinya?

Krisis listrik memaksa pemerintah jumpalitan mengurangi kurangnya pasokan listrik. Salah satunya, mengalihkan beban puncak listrik selama hari kerja, ke akhir pekan. Beban puncak listrik maksudnya adalah pemakaian listrik yang paling banyak kalangan dunia usaha. Ini umumnya terjadi di hari kerja, karena Sabtu-Minggu biasanya perusahaan libur.

Meski menuai pro-kontra, SKB Lima Menteri melenggang. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, SKB akan dilaksanakan bertahap. Tahap pertama dilakukan industri besar, yang menggunakan banyak energinya, tapi pekerjanya sedikit. Industri menengah dan usaha kecil ada di antrian berikutnya.

Jusuf Kalla: Karena itu industri dipindahkan ke situ, 10 persen tiap hari. Artinya, pabrik kalau hari kerjanya 24, itu hanya 2,5 hari, satu bulan. Jadi yang dipindahkan itu hanya 2,5 hari sebulan, tidak tiap minggu. Hanya gilirannya. Jadi kalau punya pabrik, pokoknya dua hari atau tiga hari satu bulan pindah kerja ke Minggu, tidak tiap Minggu.Mungkin ini sekali seminggu aja.

Dengan SKB Lima Menteri, sektor industri Jawa-Bali wajib mengalihkan waktu kerja pada hari libur. Tujuannya mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PLN dengan kebutuhan listrik industri. Kalau itu dilakukan, tak perlu ada lagi pemadaman listrik.

Teknisnya begini. Tiap daerah dibagi dalam beberapa kluster, yang masing-masing terdiri dari lima sampai 10 industri. Nah, tiap kluster akan bergiliran mengalihkan satu hari kerja, dari Senin sampai Jumat, ke akhir pekan. Begitu seterusnya.

Deputi Direktur PLN untuk Distribusi wilayah Jawa-Bali, Adnyana mengatakan, sampai Oktober, sudah 3000 perusahaan melalihkan hari kerjanya. Ini sudah hampir 90 persen dari yang ditargetkan. Dampaknya sudah terlihat. Pemakaian listrik menurun.

Adnyana: Jelas, ada pengaruhnya. Dari sistem Jawa-Bali, sudah kelihatan ada penurunan pemakaian listrik sekitar 150 megawatt rata-rata. Kadang sampai 200 megawatt, pada hari kerja. Itu sangat membantu PLN untuk mencegah kekurangan pasokan di sistem Jawa Bali. Pada awalnya diprediksi sampai 600 megawatt, tapi ternyata realisasi hanya 150 megawatt. Ini sudah cukup banyak membantu.

Adnyana mengaku, masih ada saja perusahaan yang belum melaksanakan SKB Lima Menteri. Tapi sejauh ini tak ada yang kena sanksi pemadaman listrik.

Adnyana: Kami pendekatannya bukan sanksi, walau pun di SKB Lima Menteri itu PLN diberi kewenangan untuk memutuskan sementara. Karena di pelanggan itu masih ada masalah yang harus diselesaikan. Tapi kalau sudah berulang-ulang pendekatan, ajakan, mereka tetap tidak mau ya kita berikan sanksi. Kalau yang mematuhi, ada insentifnya, kalau terpaksa ada pemadaman maka mereka tidak diprioritaskan untuk dipadamkan. Tapi bagi yang tidak mematuhi, ya diprioritaskan akan kena pemadaman.

Tapi data lain berasal dari Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO Kota Tangerang, Banten. Gatot Purwanto, Ketua Asosiasi mengatakan, SKB Lima Menteri belum dilaksanakan dengan baik. Buktinya, belum sampai 10 persen dari total 1800 industri yang menjalani aturan tersebut. Asosiasi mencatat, kerugian perusahaan bisa mencapai Rp. 1 milyar per hari, kalau melaksanakan SKB tersebut. Kata Gatot, aturan main SKB tak jelas.

Gatot Purwanto: Pada waktu mau dilaksanakan, dilihat memberatkan, karena belum jelas. Ada juga perusahaan yang mengarah ke lebih baik. Kalau industri yang mengarah ke tidak baik, itu justru lebih senang dengan SKB. Kalau yang mengarah ke lebih baik itu kontraproduktif. Ada industri yang sedang baik, tapi mereka harus mengikuti pemadaman. Mengalihkan itu kan harus kompromi dengan serikat buruh. Buruh juga tidak mau dirugikan. Dari segi ekonomis, perusahaan juga harus berhubungan dengan perpajakan, perbankan, pelanggaran, bagaimana kalau saat itu terjadi pengalihan kerja ke akhir pekan/pemadaman?

Kata Gatot, andaikata ada sosialisasi dan penjelasan cukup, SKB Lima Menteri bisa dilaksanakan dengan baik. Tapi, justru itulah yang tak ada.


Sumber : http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/skb_lima_menteri20081106-redirected

Tim Liputan KBR68H melaporkan untuk Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.
Laporan KBR68H [06-11-2008]