Selasa, 10 Januari 2012

Hentikan Perampasan Tanah Rakyat, Hentikan Pembunuhan dan Teror

Hentikan Perampasan Tanah Rakyat, Hentikan Pembunuhan dan Teror

Tahun 2011 ditandai dengan berbagai peristiwa kekerasan, kriminalisasi dan pengusiaran terhadap rakyat dan petani dari tanahnya. Berbagai kejadian tersebut bersumber dari sengketa agraria yang berkepanjangan. Puncaknya ditandai dengan tragedi berdarah di Masuji Lampung dan Sumatra Selatan serta Sape, Bima NTB.

Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai tahun 2011 terdapat lebih dari 4000 konflik agraria yang belum terselesaikan. Macetnya penyelesaian terhadap konflik agraria menyebabkan deretan panjang korban yang menimpa rakyat.

Saya memandang bahwa konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan oleh monopoli atas tanah, baik yang dilakukan oleh perkebunan dan tambang skala besar maupun berbagai institusi Negara yang berwujud perhutani, inhutani, perkebunan Negara maupun militer.

Perampasan tanah besar-besaran tersebut membuat penyempitan lahan garapan petani, bahkan
hilangnya tanah petani secara massif. Lebih lanjut kemerosotan penghidupan rakyat baik secara ekonomi, politik dan kebudayaan terus meluas sejalan dengan meluasnya kemiskinan rakyat pedesaan.

Saya memandang bahwa carut marut pertanahan di negeri ini disebabkan oleh tidak adanya system penataan agraria yang adil dan berpihak pada rakyat. Pemerintahan yang berkuasa (SBY) lebih memilih menjadi wakil perkebunan dan tambang besar yang berhubungan langsung dengan Imperialis (kapitalis monopoli asing) daripada keinginan rakyat atas Reforma Agrarian Sejati. Hal
tersebut terbukti dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY untuk melegalisasi perampasan tanah, sebut saja UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Minerba dan yang terbaru UU pengadaan Tanah.

Saya Memandang bahwa setiap kasus perampasan tanah, hampir selalu pihak pemerintah dan perusahaan skala besar yang bersengketa dengan kaum tani, mengundang keterlibatan aparat keamanan (kepolisian dan militer), untuk mengatasi demonstrasi dan protes kaum tani yang menuntut hak atas tanahnya. Hal ini menimbulkan kekerasan terhadap kaum tani. Kekerasan yang semakin meningkat terhadap kaum tani menyebabkan terjadinya pembunuhan, penembakan, penyiksaan, penangkapan, penahanan dan teror, hal ini dengan jelas memperlihatkan bahwa rezim SBY mengandalkan alat kekerasan negara untuk memadamkan protes dan aspirasi kaum tani. Dengan kata lain, kecenderungan fasisme dari rezim SBY telah mulai terwujud dalam seluruh proses perampasan
tanah. Selanjutnya berbagai bentangan panjang kekerasan oleh Negara tersebut adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling nyata.

Saya perpendirian bahwa persoalan tanah adalah soal hidup atau mati bagi kaum tani. Tidak ada jalan mundur bagi kaum tani dalam perjuangan menuntut tanah. Artinya, meskipun perampasan tanah terus mengalami kenaikan dan kaum tani mengalami kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh aparat keamanan negara (polisi dan tentara) maupun oleh pamswakarsa atau milisi sipil yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan besar yang bersengketa dengan kaum tani, hal tersebut tidak menyurutkan kebangkitan kaum tani untuk melawan perampasan tanah tersebut. Dengan demikian, hal ini membuktikan bahwa kaum tani adalah salah satu kekuatan politik yang sedang bangkit dan melawan rezim SBY-Budiono.

Oleh karena itu Saya bersikap agar pemerintahan segera menyelesaikan berbagai konflik agraria, menghentikan perampasan tanah mengembalikan hak tanah atas kaum tani. Menghentikan pembunuhan, terror dan kriminalisasi terhadap rakyat terutama kaum tani serta menjalakan reforma agrarian sejati yang merupakan aspirasi utama kaum tani. ##