Jumat, 24 September 2010

MENGUNCI JEJAK

setiap senja selalu ada matahari terbenam, aku berjalan mengunci jejak untuk menemukan MU di senja nanti/


Kamis, 23 September 2010

Pidato Ho Chi Minh 16 Agustus 1945

Vietnam 16 Agustus 1945 berkumpul ratusan ribu Rakyat dilapangan besar di kota Hanoi untuk mendengarkan pidato dari Ho Chi Minh yang mewakili dari Vietminh (Front Pembebasan Nasional) tdk lama kemudian paman Ho berpidato dgn cukup pendek tapi dengan arahan yang cukup tegas:

"Kepada saudara2 ku beberapa hari yang lalu jepang sudah mengaku kalah kepada sekutu dan menyatakan bahwa perang pasific sdh berakhir, itu berarti kekuasaan politik dan militer jepang sudah berakhir dan itu juga berarti kekuasaan fasis jepang di tanah air kita sdh berakhir dan jepang sdh tidak punya kekuasaan lagi di negeri ini oleh karena itu saya himbau kepada seluruh Rakyat Vietnam yang ada diseantero negeri untuk mensita dan mengambil alih semua gedung2 pemerintahan, perkebunan, tambang2 dan seluruh hak milik kepunyaan jepang serta Rakyat juga harus merebut dan mengambil alih gudang2 senjata milik jepang, senjata2 itu akan kita gunakan untuk mempertahankan republik ini jika suatu saat nanti ada pihak yang kembali untuk menjajah negeri ini!!! Saya himbau kepada seluruh Rakyat Vietnam saat ini untuk melakukan pemberontakan bersenjata di seluruh negeri!!! Merdeka... Merdeka!!!

Perayaan Sebulan Proklamasi: Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Pada 19 September 1945, dihelat rapat raksasa di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta)—kini lapangan luas di pojok timur Monas—untuk menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meskipun hanya berlangsung beberapa menit, namun prosesnya cukup panjang. Inti dari perhelatan rapat raksasa di lapangan merupakan akumulasi kekecewaan pemuda atas sikap pemimpin Indonesia yang tidak segera merebut kekuasaan dari Jepang. Padahal mereka siap melakukan hal itu, karena mereka adalah anggota pasukan militer bentukan Jepang. Mereka juga kecewa karena presiden tidak segera membentuk kesatuan tentara.

Untuk menyusun tatanan negara (mencakup Undang-Undang Dasar, pembagian wilayah administratif, pembentukan kementerian-kementerian, alat negara (polisi dan tentara), PPKI mengadakan rapat selama bulan Agustus 1945. Namun, di dalam rapat-rapat PPKI tidak membahas perebutan kekuasaan.

Karena itu, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ketika Presiden dan Wakil Presiden hendak pulang, mereka diminta menghadiri rapat para pemuda yang diadakan di Jalan Prapatan 10. Kedua pemimpin negara itu memenuhi permintaan tersebut. Rapat dipimpin Adam Malik.

Selain Presiden dan Wakil Presiden, rapat itu dihadiri pula Mr. Kasman, Ki Hajar Dewantara, dan Sutan Syahrir. Para pemuda sangat mengharapkan agar perebutan kekuasaan dari tangan Jepang sesegera mungkin dan dilakukan secara kompak. Namun Presiden menyatakan perebutan kekuasaan tidak dapat dilakukan tergesa-gesa. Pertimbangannya bukan tidak menghargai dan bangga atas semangat juang para pemuda, tetapi untuk menghindari jatuhnya korban di pihak Indonesia. Saat itu, sebagian besar tentara Jepang masih memiliki persenjataan lengkap. Sebaliknya senjata yang dimiliki pihak Indonesia masih sangat terbatas, baik jumlah maupun kekuatannya.

Para pemuda menolak logika Presiden. Mereka berpendapat itu malah merugikan Indonesia di kancah Internasional. Demi menunjukkan kesungguh-sungguhan niat para pemuda membentuk tentara kebangsaan segera, Adam Malik membacakan dekrit lahirnya Tentara Republik Indonesia yang berasal dari bekas-bekas anggota Peta dan Heiho. Presiden dan Wakil Presiden memahami sikap pemuda, namun mereka belum dapat memutuskan pembentukan kesatuan tentara pada waktu itu.

Sementara itu, semangat juang para pemuda tidak dapat dibendung lagi. Sebagian mereka telah bergerak melawan tentara Jepang. Tujuannya merebut senjata guna perjuangan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Sebagian lagi, dengan dipelopori Komite van Aksi Menteng 31—dengan tokoh pemuda antara lain Adam Malik, Sukarni, dan Chaerul Saleh—merencanakan untuk mengerahkan sejumlah besar massa untuk menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada, dan mendesak Presiden berbicara di hadapan mereka.

Rencana para pemuda itu disampaikan kepada Presiden. Pada dasarnya, Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri, setuju atas rencana tersebut. Namun, yang menjadi persoalan, pemerintah RI belum benar-benar mengetahui sikap tentara tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia, setelah mereka menyerah kepada Sekutu. Seandainya tentara Jepang bersikap memusuhi, pasti akan terjadi malapetaka hebat yang menimpa rakyat.

Persoalan tersebut dibahas dalam Sidang Kabinet tanggal 18 September1945, bertempat di kediaman Presiden Sukarno (Jalan Pegangsaan Timur 56). Sidang berlangsung sampai dinihari tanggal 19 September, namun tidak ada keputusan. Karena itu, sidang dilanjutkan pukul 10.00 pagi di Lapangan Banteng Barat, dihadiri sejumlah pemimpin pemuda. Tak hanya itu, ribuan rakyat membanjiri Lapangan Ikada, walaupun lapangan itu dijaga sejumlah tentara Jepang bersenjata. Mereka ingin mendengarkan pidato Presiden.

Sebagian di antara mereka membawa bendera Merah Putih dan spanduk bertuliskan “Satoe Tanah Air, Satoe Bangsa, Satoe Tekad Tetap Merdeka”. Tiga orang wakil pemuda mengibarkan bendera Merah-Putih pada tiang bendera yang telah disediakan. Hal itu menunjukkan keberhasilan peranan para pemuda memrakarsai dukungan rakyat.

Mengetahui rakyat membanjir di Lapangan Ikada, tentara Jepang kemudian menjaganya. Sidang memutuskan bahwa para pemimpin negara harus datang ke Lapangan Ikada untuk menemui rakyat. Bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah akibat bentrokan antara rakyat dengan tentara Jepang.

Dengan kendaraan mobil, Presiden dan Wakil Presiden datang ke Lapangan Ikada. Sebelum memasuki lapangan, mereka diperiksa komandan tentara Jepang yang menjaga tempat itu. Usai berdiskusi singkat, mereka masuk ke lapangan. Presiden Soekarno dikawal pemimpin pemuda dan laskar rakyat, berjalan menuju panggung yang telah disiapkan.

Suasana cukup mencekam selama beberapa waktu, Presiden tidak segera berpidato. Padahal pidato Presiden sangat dinanti-nantikan para pemuda dan rakyat. Memang Presiden tidak berpidato, ia hanya menyampaikan beberapa pesan singkat.

“Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin.”

Rakyat mematuhi permintaan Presiden. Sekitar tengah hari, tanggal 19 September 1945, rakyat membubarkan diri meninggalkan Lapangan Ikada. Sehingga apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.

Sumber: Lilih Prilian Ari Pranowo, Sejarah Revolusi Indonesia, Narasi: 2010.

Rabu, 01 September 2010

Nyai dalam Kekuasaan Patriarki

Nyai dalam Kekuasaan Patriarki
Nyai adalah mitra dagang. Tapi dalam sejarah kolonial, nyai adalah kelas terpinggirkan.

“HAMPIR setiap keluarga di Indies memiliki seorang nyai pada generasi sebelumnya, seorang nenek moyang pribumi,” tulis Reggie Baay di bagian akhir bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. “Tapi masih ada beberapa orang yang tetap diam, seolah-olah kehadirannya memalukan.”

Putri Laurentien, istri Pangeran Constatijn –putra bungsu Ratu Beatrix yang kini memerintah Belanda, tak terkecuali. Darah Indo mengalir dari kakek buyutnya, Peter Schön, seorang kapten kapal, yang hidup dengan seorang nyai bernama Mankam, perempuan pribumi asal Bali. Menurut wartawan Theo Haerkens dalam artikel berjudul “Laurentien Staat Symbol voor Emancipatie Indo”, dimuat di situs http://gpdhome.typepad.com/boeken_royalblognl, status sebagai seorang nyai-lah yang membuat Mankam terbunuh pada 1830.

Nyai memiliki citra negatif, yang terutama dilanggengkan oleh karya sastra dan pandangan penguasa koloni atau kolonial masa itu. Padahal kebiasaan seorang lelaki asing mengambil perempuan pribumi bukan hal baru; ia sudah ada sebelum zaman prakolonial.

Dalam Being Dutch in The Indies Ulbe Bosma dan Remco Raben mencatat bahwa praktik itu tak bisa dilepaskan dari komunitas pedagang di kota-kota dagang besar di Asia seperti Malaka dan Ayyuthaya. Di Ayyuthaya, sejak abad ke-17, muncul permukiman pendatang sesuai daerah asal mereka: Gujarat, Coromandel, Pegu, Malaka, Jawa, China, Jepang, Portugis, Prancis, dan Belanda. Raja Thailand saat itu membiarkan mereka menerapkan aturan dan hukum mereka di wilayah masing-masing. Terciptalah sistem pemisahan yang oleh Bosma dan Raben disebut legal pluralism.

Lazim bagi para pedagang mengambil perempuan lokal sebagai mitra atau teman hidup. Ikatan ini biasanya bersifat sementara; hanya bertahan selama si lelaki tinggal di sana. Tapi, selain memperkenalkan kebiasaan lokal kepada pasangan, para perempuan itu punya peran vital dalam proses perdagangan –biasanya bertindak sebagai perantara. Banyak dari mereka juga pedagang. Di masa awal Asia modern, keturunan mereka seringkali memegang posisi penting di kota-kota itu.

Inilah yang membedakannya dari VOC, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda, yang secara perlahan menurunkan status “nyai” dan anak-anaknya. Penguasa menggunakan nyai atau pergundikan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial itu sendiri, tulis Ann Stoler dalam “Carnal Knowledge and Imperial Power”, yang masuk antologi The Gender/ Sexuality Reader: Culture, History, Political Economy karya Roger N. Lancaster dan Micaela di Leonardo.

Meski tak terang-terangan, hidup tanpa ikatan dengan seorang perempuan pribumi dianjurkan. Buku panduan bagi para calon pegawai perkebunan yang akan dikirim ke Tonkin, Sumatra, dan Malaya mendorong para lelaki segera mencari seorang “pelayan sekaligus teman tidur” sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup bersama seorang nyai akan mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Ini terutama terjadi ketika budidaya tanaman ekspor meledak pada 1870.

Rene Maunier dalam Sociologie Coloniale, yang dikutip Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, menulis bahwa pergundikan dalam banyak kasus adalah sebuah bentuk perbudakan, hubungan antara orang yang mendominasi dan yang didominasi. Ia sebuah relasi yang bersifat seksual antara sang penakluk dan yang ditaklukkan.

Berbagai panggilan merendahkan diberikan masyarakat Eropa kepada para nyai, mulai inlandse huishoudster (pembantu rumah tangga), meubel (perabot), inventarrisstuk (barang inventaris), boek (buku), hingga woordenboek (kamus) karena nyai berfungsi sebagai penerjemah suami dan/atau tuan mereka. Priyayi Jawa, menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas, juga merendahkan gundik dan anak-anaknya: perempuan rendah dan kotor, menentang aturan kesopanan Jawa, digerakkan nafsu birahi, tak bermoral, menjual kehormatan demi kekayaan, pelacur, dan lain-lain.

Secara hukum, seorang nyai tak terlindungi. Lelaki Belanda dengan mudah bisa memutuskan ikatan dan si nyai harus keluar dari “rumah tangganya”. Seorang nyai juga tak punya hak atas anak-anaknya dan tak bisa menuntut perwalian –sekalipun suaminya meninggal dunia. Anak-anak dari perkawinan itu juga menerima citra yang sama: percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat terburuk dari kedua ras sehingga selalu menghasilkan karakter yang lemah.

Antara 1890 dan 1920 jumlah lelaki Eropa yang bermigrasi ke Hindia meningkat 200 persen, sedangkan perempuannya 300 persen. Kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran mengurangi simpati terhadap kawin campur. Menurut Ann Stoler, pada1920-an jajaran elit kolonial juga merasa perlu menegaskan lagi kriteria kelas-kelas masyarakat. Dari sisi politis mereka merasa prostitusi jauh lebih aman, dan kembali mendorong pernikahan sesama kulit putih sebagai cara menggantikan fenomena nyai dan pergundikan.

Para Eropa totok membentuk lapisan atas masyarakat sementara para Indo makin gelisah dan malu dengan darah pribumi mereka. Lelaki yang hidup bersama nyai melakukannya secara diam-diam. Mereka tak akan makan bersama nyai mereka di meja makan, juga tak akan muncul di beranda depan, tempat yang kelihatan oleh umum. Nyai disalahkan karena lelaki Eropa makin hidup seperti inlander, dan menjauhkan lelaki Eropa dari jalan yang benar.

Pada 1925, sedikitnya lebih dari seperempat perkawinan resmi di Hindia adalah perkawinan campuran. Bahkan, sebagaimana ditulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, terlihat beberapa perkawinan antara lelaki Indonesia dan perempuan Eropa. Contoh terbaik adalah Dr Soetomo yang menikah dengan seorang janda berkebangsaan Belanda dan Sjahrir yang menikahi Maria Duchateau. Jumlah perkawinan campuran mencapai 150.000 menjelang kemerdekaan.

Pascakemerdekaan, keluarga campuran dihadapkan pada pilihan untuk melakukan repatriasi ke Negeri Belanda. Bagi seorang nyai, ini sebuah dilema: berpisah dengan keluarga inti atau meninggalkan tanah airnya. Yang mengambil pilihan pertama harus kehilangan kontak dengan anak-anak Eurasia mereka, sementara yang mengambil pilihan kedua harus siap menempuh hidup baru di sebuah masyarakat yang sama sekali asing bagi mereka. Banyak bekas nyai yang memilih ke Belanda kemudian hidup dalam keterasingan. Akibatnya banyak keturunan Indo yang tak paham asal-usul mereka, yang menurut Reggie Baay adalah pantulan dari gambaran negatif seorang nyai yang masih bertahan hingga kini. [VIFI]

sumber : http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-308-nyai-dalam-kekuasaan-patriarki.html/