Minggu, 20 Maret 2011

YANG DILARANG

YANG DI LARANG
terpenjara dalam ruang khusus /
perpustakaan yang berlabel bacaan terlarang/
telah menjadi santapan lezat rayap rezim tiran/
memanfaatkan data-data jadi edisi/
memanfaatkan keberanian jadi buku/
satu keyakinan dan keberanian di kupas tuntas/
dalam gerak yang terbatas hasilnya terus di tumpas/
tema baru pembakaran dan pelarangan/
jelas kebudayaan tanpa politik tidak bisa sama sekali/
jelas sudah hasilnya mengecewakan/

--------------@ maret2011 kang Roedy



DILUCUTI
Lepaskan mulut dari kata-kata
lepaskan juga dari bahasa yang sarat muatan beban
yang Layu bukan karena di rayu
yang menyerah bukan karena lelah
ini bukan keringat murahan
...apalagi manusia setengah harga

-------------@ maret2011kangRoedy



YANG HILANG
malam menuju kesempurnaannya
basah kuyup oleh hujan ibu kota
terapung dalam kata-kata
tiada langit tiada bumi tiada pesona
menghilang dalam kesenyapan ..........

--------------@ maret2011kang Roedy

Selasa, 15 Maret 2011

CINTA YANG SEHAT TIDAK MUNGKIN TERJADI DALAM ALAM FEODALISME DAN KAPITALISME.

........Dalam masyarakat feodal dan kapitalis kaum PEREMPUAN selalU dalam posisi terindas dan diperbudak. Dalam situasi tidak seimbang semacam itu sangat sulit bicara soal hubungan CINTA yang SEHAT dan BAHAGIA ....

Dewasa ini kaum imperialis, sisa-sisa feodal dan borjuasi komprador masih memiliki kekuatan dan dominasi di tengah-tengah masyarakat. Mereka mempertunjukan banyak film dan mengedarkan banyak cerita dan lagu cabul yang meningkatkan pelacuran dan kemerosotan moral di masyarakat. Mereka bicara tentang kemanusiaan tetapi mereka bertindak seperti binatang yang mengumbar segala nafsu sekehendak mereka .... kitaharus menyapu bersih kotoran busuk itu.

CINTA yang sehat itu cinta yang didasarkan pada perjuangan bersama dalam segala kegiatan yang mampu menghasilkan semangat saling membantu, yang menghasilkan saling pengertian tampa pamrih.

Deklarasi Kemerdekaan nasional sendiri tidak menghapus struktur Patriarki. Demokrsi Liberal telah menjadi saksi kematian gerakan perempuan sebagai kekuatan sosial mandiri yang brjuang bagi kepentingan Gender yang mereka rumuskan sendiri. Penekanan pada kesetaraan perempuan denagn laki2 melemah.Sebaliknya anggapan mereka pada perbedaan dengan laki2 makin jelas yang kemudian dirasionalisasi dengan merujuk pada kondrat masing2 seks. Karena laki2 mengakui sebagai hak "alamiah" maka mereka menguasai kehidupan umum, sementara perempuan didesak kepinggir dan kepntingan mereka di Abaikan .

Sekrang kaum prempuan Indonesia berada dalam dominasi Imperialsime dan Feodalisme serta kaum kabir dengan budaya patriarkinya yang melekat erat. hal-hal ini jelas tidak dapat dibantah.

***
kami bukan lg bunga pajangan
yg layu dlm jambangan
cantik dlm menurut
indah dalam menyerah
molek tdk menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang

kami bkn jg bunga tercampak
dalam hidup ter injak-injak
penjual keringat murah
buruh separoh harga
tiada perlindungan tiada persamaan
sarat di muati beban

kami tlah berseru
dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan
:"kami Manusia"

Bagi saya CINTA itu harus timbal balik berdasarkan rasa hormat, sehat, pengertian dan setara, lebih baik lagi jika berlangsung dalam lingkaran semangat kebersamaan dalam haluan perjuangan pembebasan .......

Maka untuk mencapai cita-cita nya kaum perempuan terlepas dari dominasi Feodalisme, Imperialisme, dan kaum borjuasi komprador dari posisi tertindas dan diperbudak, kaum Perempuan tidak dapat melakukannya seorang diri, tetapi harus mengerjakannya bersama kaum laki-laki, dan senjatanya adalah ORGANISASI yang... (tidak akan) membuat suami (kaum laki-laki) membenci Perempuan atau menjadi musuh organisasi... ini Merupakan tugas kita untuk menarik suami (kaum laki-laki), dengan begitu bukan saja aka menghargai organisasi kita tetapi akan membantu apa yang menjadi perjuangan kaum Perempuan.....



(sumber, Penghancuran gerakan Perempuan):##

Sabtu, 05 Maret 2011

100 Tahun Hari Perempuan International 8 Maret 2011

Se-abad (100 thn) Hari Perempuan Internasional (HPI), Perempuan Indonesia bangkit melawan penindasan Hentikan Perampasan Upah, Tanah dan Kerja

Setiap tahun pada tanggal 8 Maret, Rakyat diseluruh penjuru Dunia secara serentak memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI) sebagai Momentum untuk menuntut kesetaraan, perlakuan yang adil dan pemenuhan atas hak-hak dasarnya. Gagasan HPI pertama kali dilatarbelakangi oleh perkembangan industri difase awal abad ke-19, pasca dijalankannya revolusi industri di Inggris pada Abad ke-17. Pada tahun 1874 di bentuk the Women’s Trade Union League dan Temperance Union (WTCU) yang merupakan gerakan anti minuman keras. Kemudian pada tahun 1894 berdiri sebuah kelompok General Federation of Women’s (GFW) di Amerika Serikat.

Tahun 1908 di New York-AS, terjadi demontrasi yang diikuti ribuan buruh-perempuan yang menuntut perbaikan nasib, menuntut hak pilih, memilih dan dipilih dan melarang menggunakan tenaga kerja anak-anak. Untuk pertama kalinya pada tahun 1911 Hari Perempuan Internasional dirayakan di negara-negara industri, seperti Jerman, Austria, Denmark, Finlandia, Swiss dan Amerika Serikat dengan tuntutan 8 jam kerja. Pada tahun 1913 di Rusia dan tahun 1914 di Jerman ribuan orng terutama kaum perempuan ikut aktif berdemonstrasi menentang ancaman Perang Dunia I, dan setahun kemudian demontrasi ini meluas ke seluruh daratan Eropa. Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demontrasi besar dengan tuntutan “Bread and Peace!” (Roti dan perdamaian). Empat hari kemudian, tepat pada tanggal 8 maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh, kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilihnya. Sejak saat itu tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasinal sebagi penghargaan atas perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial ekonominya.

Upaya perjuangan kaum Perempuan secara Internasional untuk mendapatkan hak-hak sosial ekonominya sehingga mendaptkan momentum hari jadinya yang di tetapkan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya ternyata belum mampu menghentikan penindasan dan penghisapan terhadap perempuan di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia. Jika pada abad 19 kaum perempuan berjuang melawan penindasan yang dialami akibat kejamnya sistem kapitalisme, maka pada masa sekarang perjuangan kaum perempuan harus berhadapan dengan sistem yang jauh lebih kejam dan barbar, yaitu sistem kapitalisme monopoli atau imperialisme.

Krisisis umum Imperialisme dan penindasan terhadap Kaum Perempuan.
Krisis umum imperialisme yang memuncak sejak pertengahan tahun 2008 hingga saat ini, telah berdampak pada semakin memorosotnya pertumbuhan ekonomi global. Krisis yang terus memburuk hingga saat ini sesungguhnya disebabkan karena over produksi (Produksi berlebihan) persenjataan dan produk berteknologi tinggi yang merupakan akibat dari spekulasi produksi Imperialisme yang dalam proses produksinya dilakukan secara massal atau produksi secara besar-besaran (anarchy production) tanpa memperhitungkan tingkat pendapatan rakyat yang tidak pernah meningkat bahkan cenderung menurun, dilain sisi penghidupan rakyat terus merosot akibat pemotongan subsidi dan kenaikan beban pajak yang harus ditanggung.

Krisis yang terjadi tepat dijantung pucuk pimpinan Imperialisme (AS) kali ini tentu saja telah berdampak besar bagi penghidupan Rakyat diseluruh dunia. Faktanya bahwa semenjak terjadinya krisis pada periode saat ini, di AS sendiri tercatat sejak tahun 2007 hingga September 2009, jumlah pengangguran meledak hingga 7,6 juta orang dan meningkat menjadi 15,1 juta orang, selanjutnya pada tahun 2010 angka penggangguran terus meningkat mencapai 24,3 juta jiwa (www.voanews.com). Perkembangan krisis tersebut hingga akhir tahun 2010 sampai memasuki awal tahun 2011 hingga sekarang, krisis tersebut sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tandanya untuk membaik bahkan faktanya krisis tersebut semakin tajam dan kronis, bahkan dalam perkembangannya krisis yang tak dapat dipulihkan oleh imperialisme ini terus merambat hingga ke daratan eropa yang menyebabkan penghidupan rakyat di negara-negara Uni Eropa tersebut tidak kalah buruknya dengan situasi yang dialami rakyat Amerika Serikat. Beban utang negara yang terus memebengkak dan harus ditanggung oleh rakyat melalui penarikan beban pajak yang tinggi dan pemotongan subsidi Publik dan tajamnya dampak krisis yang terjadi dieropa tersebut terlihat dari bangkitnya gerakan rakyat dibeberapa negara kawasan eropa seperti Yunani, Spanyol maupun Jerman, bahkan Inggris (UK) yang merupakan salah satu Negara yang pernah menguasai dunia dengan mata uang yang paling mahal juga sempat mengalami kekosongan KAS Negara.

Imperialisme terus berupaya menyelesaikan krisis yang dideritanya dengan berbagai cara, bahkan dengan melimpahkan Krisis tersebut di Negara-negara jajahan, setengah jajahan dan setengah feodal dan negara-negara lainnya yang berada dibawah dominasinya untuk ikut bertanggungjawab menyelesaikan krisis tersebut. Faktanya bahwa Krisis tersebut terus merambat ke berbagai negara, selain ke daratan Eropa, juga ke berberapa Negara dikawasan Timur Tengah, bahkan parahnya akibat krisis tersebut gerakan rakyat dibeberapa Negara (Tunisia dan Mesir) di Timur Tengah mampu menggulingkan Presidennya yang dinilai tidak mampu menjawab kebutuhan rakyatnya. Sementara dikawasan Asia dengan rata-rata dipimpin oleh Rezim Komprador juga tak dapat menghindar dari situasi krisis yang telah dilimpahkan oleh Imperialis melalui berbagai kebijakan, perjanjian dan kerjasama tersebut. Demikian pula halnya dengan Indonesia dengan Rezim yang tercatat sebagai rezim paling setia dari Rejim-rejim sebelumnya, seluruh kekayaan alam bahkan tenaga manusia telah diserahkan secara Cuma-Cuma.

Kekalutan Imperialisme dalam menyelesaikan krisis yang dideritanya, semakin memperjelas bahwa semakin keroposnya system kapitalisme monopoli saat ini. Dilain sisi, keadaan tersebut tak jua menghentikan kerakusan Imperialisme dalam melakukan penghisapan atas sumber-sumber penghidupan Rakyat di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Situasi tersebut semakin menghantarkan rakyat dalam penghidupan yang semakin buruk. Dengan eksploitasi atas bahan mentah dan sumber-sumber penghidupan rakyat lainnya yang semakin luas dan bar-bar telah mengakibatkan kemiskinan yang semakin luas, pengangguran yang semakin tinggi dan tindak kekerasan yang semakin merajalela.

Stuasi Umum Penindasan Kaum Perempuan di Indonesia.
System busuk yang sudah tua dan lapuk, yaitu System Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF) yang terus dipertahankan rejim penguasa dinegeri ini semakin memperkuat dan memperhebat dominasi Imperialisme dalam melakukan penghisapan di negeri yang kaya dan luas dengan populasi yang besar ini, dengan kolaborasi jahat yang disandarkan pada System lapuk tersebut, rejim boneka yang bercokol dinegeri ini telah menjerumuskan Rakyat dalam keterbelakangan yang kelam baik dilapangan Politik, Ekonomi maupun budaya.

Dalam sejarah perkembangan Masyarakat Indonesia, Sistem setengah jajahan dan setengah feoadal telah menempatkan kaum perempuan Indonesia dalam posisi yang paling belakang dan selalu diremehkan. Akibat diskriminasi yang kuat atas kaum perempuan tersebut telah menjerumuskan kaum perempuan dalam segala bentuk keterbelakangan. Perempuan tidak diberikan ruang yang luas untuk dapat mengakses haknya bahkan untuk mengembangkan diri sekalipun. Diskriminasi terhadap kaum perempuan tersebut terbukti dengan berbagi kenyataan di Indonesia, misalnya dalam partisipasi kerja, tingkat partisipasi kerja pada periode februari 2008, kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah pengagguran dari total penduduk Indonesia yang mencapai kurang lebih 17,3% dan 9,7% dari total angka tersebut adalah kaum perempuan. Demikian halnya dengan partisipasi perempuan disektor pendidikan yang masih sangat rendah, terbukti dengan jumlah kaum perempuan Indonesia yang masih terjerat buta aksara yang mencapai 6,39% dibandingkan dengan laki-laki hanya 3,64%.

Dalam hubungan produksi, selain persoalan akses lapangan kerja yang terbatas, perempuan juga tidak mendapatkan kesetaraan dalam soal upah dengan kaum laki-laki. Sebagian besar buruh perempuan hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-kali, kenyataan yang diskriminatif ini dikuatkan dengan adanya peraturan menteri tenaga kerja No. 04 tahun 1988 yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami sudah mendapatkan hak yang serupa. Akibatnya, upah minim yang diterimanya telah memaksa 44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75 jam/minggu, sedangkan buruh perempuan yang bekerja paruh waktu (35-34 jam/minggu) hanya sebesar 48% dan buruh laki-laki mencapai 71,6%.

Selain persoalan-persoalan tersebut diatas, dengan kekhususnya yang mengalami Haid setiap bulan, hamil dan melahirkan, ditempat kerjanya perempuan juga tidak memiliki jaminan hari libur Haid, Hamil ataupun Cuti melahirkan yang relative sangat pendek. Kenyataan-kenyataan tersebut diatas, akibat sempitnya akses perempuan atas lapangan pekerjaan, tidak adanya kesetaraan dalam pengupahan juga telah memaksa jutaan kaum perempuan harus mecari kerja (Menjadi TKI) keluar negeri tanpa jaminan yang jelas akan kesejahteraan, kesehatan dan perlindungan akan keselamatan kerja. Akibatnya kemudian buruh migrant dihadapkan dengan biaya penempatan yang tinggi dan menyebabkan potongan upah berlebihan bagi BMI. Selain itu tidak sedikit dari BMI yang mengalami berbagai tindak kekerasan di Negara penempatan baik berupa penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan bahkan pembunuhan. Kasus Kikim Komalasari dan Sumiati cukuplah menjadi Contoh dari sekian banyak kasus kekerasann yang dialami BMI di Negara Penempatan. Demikian juga halnya dengan Ratusan BMI yang terlantar di Arab Saudi hingga berbulan-bulan lamanya adalah akibat dari tidak adanya perlindungan yang jelas dari pemerintah, bahkan pemerintah sendiri lebih menunjukkan ketidak bertanggungjawabannya atas kasus tersebut. Begitupun yang terjadi disektor Agraria, seorang buruh tani perempuan hanya diberikan upah sebesar Rp. 15.000,-Rp. 20.000, sedangkan buruh tani laki-laki berkisar Rp. 25.000,- Rp. 30.000.

Perempuan Indonesia Bangkit melawan Penindasan.
Jelaslah bahwa dari kondisi diatas, kaum perempuan Indonesia ditempatkan dalam penindasan yang berlipat ganda, maka sudah menjadi keharusan bagi kaum perempuan Indonesia untuk mengorganisasikan diri dan berjuang bersama rakyat untuk merebut hak-hak dasarnya. Telah tercatat dalam sejarah dan berbagai literature bahwa dalam setiap perkembangan masyarakat, baik di Indonesia maupun didunia, perempuan selalu terlibat dalam perjuangan untuk perubahan dari zaman ke zaman.

Sejarah Hari Perempuan Internasional (HPI)
Menurut sejarahnya, 8 Maret dijadikan Hari Perempuan karena pada 8 Maret 1917, untuk pertama kalinya perempuan di Rusia diberikan hak suaranya oleh pemerintah negara tersebut.

Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa yang menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masa masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.

Ide untuk memperingati hari Perempuan Sedunia sebetulnya telah berkembang sejak seabad yang lalu ketika dunia industri ini sedang dalam masa pengembangan dan pergolakan, peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan pemunculan paham-paham, ideologi-ideologi radikal sedang mengalami ledakan.

Seperti Pada tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil (disebut ‘buruh garmen’) di New York, Amerika Serikat mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Polisi menyerang para pemrotes dan membubarkan mereka. Dua tahun kemudian, juga di bulan Maret, untuk pertama kalinya para perempuan ini mendirikan serikat buruh sebagai upaya melindungi diri mereka serta memperjuangkan beberapa hak dasar di tempat kerja.

Sedangkan pada tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga”, roti adalah sebagai simbol jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup. Pada bulan Mei, Partai Sosialialis Amerika mencanangkan hari Minggu terakhir di bulan Februari untuk memperingati Hari Perempuan Nasional.

Menyusul deklarasi Partai Sosialis Amerika tersebut, Hari Perempuan Nasional untuk pertama kalinya diperingati di Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari 1909. Selanjutnya pada tahun 1913, para perempuan merayakannya pada hari Minggu terakhir bulan tersebut.

Pada tahun 1910 di Kopenhagen, Denmark berlangsung konferensi internasional yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sosialis dari seluruh penjuru dunia. Konferensi Kaum Sosialis Internasional ini mengusulkan agar Hari Perempuan menjadi berwatak internasional. Usulan ini pertama kali terlontar dari Clara Zetkin, seorang perempuan Sosialis Jerman, yang mengusulkan Hari Internasional untuk memperingati terjadinya pemogokan para buruh garmen di Amerika Serikat. Usulan tersebut disepakati secara aklamasi oleh lebih dari 100 perempuan dari 17 negara peserta konferensi, termasuk diantaranya oleh tiga perempuan yang untuk pertama kalinya dipilih sebagai anggota parlemen Finlandia. Hari Perempuan Internasional tersebut ditetapkan untuk menghormati gerakan menuntut hak-hak untuk kaum perempuan, termasuk di dalamnya hak untuk memilih (dikenal dengan ‘hak pilih’). Pada saat itu belum ada tanggal pasti yang ditetapkan untuk peringatan tersebut.

Deklarasi kaum Sosialis Internasional mendatangkan pengaruh yang besar. Pada tahun berikutnya, tahun 1911, untuk pertama kalinya hari Perempuan Internasional dirayakan di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss. Tanggalnya 19 Maret dan lebih dari satu juta laki-laki dan perempuan tumpah ruah memenuhi jalanan dalam sebuah aksi rally. Di samping menuntut hak memilih dan bekerja di kantor-kantor publik, mereka juga menuntut hak-hak kerja dan menghentikan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tidak sampai seminggu berikutnya, yakni pada tanggal 25 Maret, terjadilah Tragedi Kebakaran Triangle di New York. Lebih dari 140 buruh, kebanyakan adalah gadis-gadis Italia dan para buruh imigran Yahudi di perusahaan Triangle Shirtwaist, tewas lantaran rendahnya jaminan keamanan. Liga Serikat Buruh Perempuan dan Serikat Buruh Garmen Perempuan Internasional melakukan berbagai aksi protes menentang terjadinya tragedi yang sebenarnya dapat dihindari itu. Mereka juga melakukan pawai pada upacara pemakaman yang melibatkan lebih dari 100 ribu orang. Kebakaran Triangle tersebut berdampak sangat besar terhadap Undang-Undang perburuhan dan terhadap kondisi kerja yang buruk yang menyebabkan terjadinya bencana yang diperingati pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun-tahun berikutnya.

Sebagai bagian dari gerakan perdamaian muncul pada malam Perang Dunia I, para perempuan Rusia mengadakan peringatan hari Perempuan Internasional yang pertama pada hari Minggu terakhir di bulan Februari tahun 1913. Di tempat lain di Eropa, tanggal 8 Maret di tahun berikutnya, perempuan menyelenggarakan aksi rally untuk memprotes perang dan menyatakan solidaritas dengan saudara-saudara mereka lainnya.

Berkaitan dengan gugurnya 2 (dua) juta tentara Rusia dalam peperangan, para perempuan Rusia kembali memilih hari Minggu terakhir pada bulan Februari 1917 untuk melakukan aksi mogok menuntut ”roti dan perdamaian” atau yang lebih dikenal dengan slogan“Bread and Peace!”. Para pimpinan politik menentang pemilihan waktu mogok, tetapi para perempuan tetap melakukannnya.

Akhirnya, empat hari kemudian, Tsar Rusia turun dari kursi kekuasaan dan pemerintahan sementara mengabulkan tuntutan hak pilih bagi kaum perempuan. Minggu yang bersejarah tersebut jatuh pada tanggal 23 Februari kalender Julian yang kemudian dipakai di Rusia, bertepatan dengan tanggal 8 Maret menurut kalender Gregorian yang dipakai di tempat lain.

Sejak saat itu lah 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya. Semenjak awal tahun-tahun tersebut, Hari Perempuan Internasional menyandang dimensi global yang baru bagi kaum perempuan baik di negara maju maupun negara-negara berkembang.

Sebagaimana bisa kita lihat pada bulan Desember 1977, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengesahkan sebuah resolusi yang menetapkan sebuah Hari PBB untuk Hak-hak kaum perempuan dan Perdamaian Internasional. Empat konferensi perempuan sedunia PBB telah membantu mewujudkan tuntutan hak–hak dan partisipasi kaum perempuan di dalam proses politik dan ekonomi menjadi kenyataan.

Pada tahun 1975 PBB membangkitkan perhatian dunia akan persoalan perempuan dengan menetapkan tahun Perempuan Internasional dan mengadakan konferensi tentang perempuan untuk pertama kalinya di Mexico City. Sidang yang lain diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1980.

Pada 1985, PBB melakukan konferensi perempuan ketiga di Nairobi, Kenya, untuk meninjau apa saja yang telah dicapai pada akhir dekade ini.

Pada tahun 1995, Beijing menjadi tuan rumah Konferensi Perempuan Sedunia Keempat. Perwakilan dari 189 negara menyetujui bahwa ketidaksetaraan kaum perempuan dan laki-laki mempunyai dampak yang serius terhadap kesejahteraan seluruh umat manusia. Konferensi tersebut mendeklarasikan serangkaian tujuan bagi kemajuan kaum perempuan dalam berbagai wilayah kehidupan antara lain politik, kesehatan dan pendidikan. Dokumen terakhir yang dibahas dalam konferensi (disebut “Plaform Aksi”) menyatakan: “Kemajuan kaum perempuan dan pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah sebuah persoalan hak asasi manusia dan kondisi bagi terciptanya keadilan sosial dan hendaknya jangan dilihat sebagai persoalan perempuan yang tersendiri”

Lima tahun berikutnya, dalam sebuah sesi khusus ke-23 dari Majelis Umum PBB, “Perempuan tahun 2000 : Persamaan Jender, Pembangunan dan Perdamaian untuk Abad 21” meninjau kembali kemajuan dunia yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam konferensi Beijing. Konferensi ini kemudian dikenal dengan konferensi “Beijing + 5”. Para delegasi mengalami kemajuan sekaligus mendapat rintangan-rintangan yang kuat. Para delegasi membuat kesepakatan lebih lanjut memprakarsai konferensi perempuan tahun 1995.

Maka untuk itu didalam kekinian dimana selama masih ada diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan, maka tentu saja momentum itu harus diperingati secara gegap gmpita dengan berbagai bentuk kegiatan yang tetap dalam kerangka perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonomi dan politik kaum perempuan.##.

*Di sarikan dari berbagai sumber