Kamis, 23 September 2010

Perayaan Sebulan Proklamasi: Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Pada 19 September 1945, dihelat rapat raksasa di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta)—kini lapangan luas di pojok timur Monas—untuk menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meskipun hanya berlangsung beberapa menit, namun prosesnya cukup panjang. Inti dari perhelatan rapat raksasa di lapangan merupakan akumulasi kekecewaan pemuda atas sikap pemimpin Indonesia yang tidak segera merebut kekuasaan dari Jepang. Padahal mereka siap melakukan hal itu, karena mereka adalah anggota pasukan militer bentukan Jepang. Mereka juga kecewa karena presiden tidak segera membentuk kesatuan tentara.

Untuk menyusun tatanan negara (mencakup Undang-Undang Dasar, pembagian wilayah administratif, pembentukan kementerian-kementerian, alat negara (polisi dan tentara), PPKI mengadakan rapat selama bulan Agustus 1945. Namun, di dalam rapat-rapat PPKI tidak membahas perebutan kekuasaan.

Karena itu, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ketika Presiden dan Wakil Presiden hendak pulang, mereka diminta menghadiri rapat para pemuda yang diadakan di Jalan Prapatan 10. Kedua pemimpin negara itu memenuhi permintaan tersebut. Rapat dipimpin Adam Malik.

Selain Presiden dan Wakil Presiden, rapat itu dihadiri pula Mr. Kasman, Ki Hajar Dewantara, dan Sutan Syahrir. Para pemuda sangat mengharapkan agar perebutan kekuasaan dari tangan Jepang sesegera mungkin dan dilakukan secara kompak. Namun Presiden menyatakan perebutan kekuasaan tidak dapat dilakukan tergesa-gesa. Pertimbangannya bukan tidak menghargai dan bangga atas semangat juang para pemuda, tetapi untuk menghindari jatuhnya korban di pihak Indonesia. Saat itu, sebagian besar tentara Jepang masih memiliki persenjataan lengkap. Sebaliknya senjata yang dimiliki pihak Indonesia masih sangat terbatas, baik jumlah maupun kekuatannya.

Para pemuda menolak logika Presiden. Mereka berpendapat itu malah merugikan Indonesia di kancah Internasional. Demi menunjukkan kesungguh-sungguhan niat para pemuda membentuk tentara kebangsaan segera, Adam Malik membacakan dekrit lahirnya Tentara Republik Indonesia yang berasal dari bekas-bekas anggota Peta dan Heiho. Presiden dan Wakil Presiden memahami sikap pemuda, namun mereka belum dapat memutuskan pembentukan kesatuan tentara pada waktu itu.

Sementara itu, semangat juang para pemuda tidak dapat dibendung lagi. Sebagian mereka telah bergerak melawan tentara Jepang. Tujuannya merebut senjata guna perjuangan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Sebagian lagi, dengan dipelopori Komite van Aksi Menteng 31—dengan tokoh pemuda antara lain Adam Malik, Sukarni, dan Chaerul Saleh—merencanakan untuk mengerahkan sejumlah besar massa untuk menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada, dan mendesak Presiden berbicara di hadapan mereka.

Rencana para pemuda itu disampaikan kepada Presiden. Pada dasarnya, Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri, setuju atas rencana tersebut. Namun, yang menjadi persoalan, pemerintah RI belum benar-benar mengetahui sikap tentara tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia, setelah mereka menyerah kepada Sekutu. Seandainya tentara Jepang bersikap memusuhi, pasti akan terjadi malapetaka hebat yang menimpa rakyat.

Persoalan tersebut dibahas dalam Sidang Kabinet tanggal 18 September1945, bertempat di kediaman Presiden Sukarno (Jalan Pegangsaan Timur 56). Sidang berlangsung sampai dinihari tanggal 19 September, namun tidak ada keputusan. Karena itu, sidang dilanjutkan pukul 10.00 pagi di Lapangan Banteng Barat, dihadiri sejumlah pemimpin pemuda. Tak hanya itu, ribuan rakyat membanjiri Lapangan Ikada, walaupun lapangan itu dijaga sejumlah tentara Jepang bersenjata. Mereka ingin mendengarkan pidato Presiden.

Sebagian di antara mereka membawa bendera Merah Putih dan spanduk bertuliskan “Satoe Tanah Air, Satoe Bangsa, Satoe Tekad Tetap Merdeka”. Tiga orang wakil pemuda mengibarkan bendera Merah-Putih pada tiang bendera yang telah disediakan. Hal itu menunjukkan keberhasilan peranan para pemuda memrakarsai dukungan rakyat.

Mengetahui rakyat membanjir di Lapangan Ikada, tentara Jepang kemudian menjaganya. Sidang memutuskan bahwa para pemimpin negara harus datang ke Lapangan Ikada untuk menemui rakyat. Bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah akibat bentrokan antara rakyat dengan tentara Jepang.

Dengan kendaraan mobil, Presiden dan Wakil Presiden datang ke Lapangan Ikada. Sebelum memasuki lapangan, mereka diperiksa komandan tentara Jepang yang menjaga tempat itu. Usai berdiskusi singkat, mereka masuk ke lapangan. Presiden Soekarno dikawal pemimpin pemuda dan laskar rakyat, berjalan menuju panggung yang telah disiapkan.

Suasana cukup mencekam selama beberapa waktu, Presiden tidak segera berpidato. Padahal pidato Presiden sangat dinanti-nantikan para pemuda dan rakyat. Memang Presiden tidak berpidato, ia hanya menyampaikan beberapa pesan singkat.

“Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin.”

Rakyat mematuhi permintaan Presiden. Sekitar tengah hari, tanggal 19 September 1945, rakyat membubarkan diri meninggalkan Lapangan Ikada. Sehingga apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.

Sumber: Lilih Prilian Ari Pranowo, Sejarah Revolusi Indonesia, Narasi: 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar