Rabu, 29 Agustus 2018

Kalah Di Angin Pesona

Kalah Di Angin Pesona :
Sungai gunung begitu mempesona
sawah ladang,hutan subur kaya raya
membuat banyak kaki berduyun menekuk segalanya
dipagari, dikeruk di angkut ke dapur sendiri

Sayanglah sang penguasa kurang rona
kalah di angin pesona
tak mengerti kisah ibu pertiwi
tak peduli generasi selanjutnya

Kini semuanya telah berlalu
yang tersisa hanya debu dan kerusakan
kemiskinan, kemelaratan setiap waktu beradu

tak ada guna mengeluh
kalaulah ingin menghitung
apa yang mau di hitung
sekarang kitalah yang tidak beruntung.







[] Rudi HB Daman
---------- Jakarta, 29.8.2018

Memahami 29 Maret Sebagi Hari Ketiadaan Tanah (Day of the Landless)


Memahami 29 Maret  Sebagi Hari Ketiadaan Tanah (Day of the Landless)

Satu dekade setelah krisis pangan dunia pada tahun 2008, perampasan tanah terus berlangsung mengusir rakyat miskin, terutama petani, nelayan dan sukubangsa minoritas (masyarakat adat). Ini adalah ancaman besar bagi penghidupan rakyat dan ketersediaan pangan seluruh bangsa. Sebagian besar lahan pertanian telah dan sedang dialih-fungsikan (dikonversi) untuk penggunaan agroindustri untuk produksi komoditas pertanian non-pangan yang sebagian besar untuk diekspor.

Kontrol monopoli tuan tanah dan perusahaan-perusahaan besar di atas tanah yang sangat luas semakin diperkuat melalui restrukturisasi neoliberal pertanian. Reforma agrarian sejati (land reform) masih merupakan mimpi bagi jutaan petani yang bekerja keras di bawah tekanan eksploitatif dan kondisi yang rentan, ditengah hilangnya kendali atas produksi pangan.

Secara global, produksi pangan yang bergantung pada kepemilikan tanah dan sumber daya dimanfaatkan dan dikendalikan oleh segelintir individu atau perusahaan untuk superprofit. Bagi masyarakat pedesaan, terlebih perempuan pedesaan, tanah dan sumber daya berarti kehidupan. Tanpa itu, mereka tidak memiliki kehidupan dan mata pencaharian, mereka tidak dapat memberi makan keluarga mereka, mereka tidak memiliki budaya dan identitas.

Ketiadaan tanah bagi petani dan kontrol monopoli atas tanah dan sumber daya semakin memburuk. Melalui perampasan tanah, modal asing membuka peluang yang semakin besar untuk meraup keuntungan dan mengokohkan cengkeramannya pada pertanian di Asia. China yang muncul sebagai pemain yang berpengaruh di pasar global adalah salah satu perkembangan utama yang menyokong tren ini sekarang.

Jalur perdagangan sutra atau Inisiatif Belt and Road (BRI) untuk mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatan ekonomi diantara tujuan strategis lainnya, menargetkan tersedianya sejumlah lahan luas dan sumber daya lainnya untuk jaringan infrastruktur transportasi, kawasan industri atau kawasan pertanian, pusat logistik dengan mengorbankan Masyarakat pedesaan.

Kepentingan Cina di Pakistan tergambar dalam Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) senilai US $ 67 miliar, perjanjian yang ditandatangani antara pemerintah China dan Pakistan pada tahun 2015 dan yang merupakan proyek unggulan dari `BRI. Di Sri Lanka, pada contoh yang lain, sebuah perusahaan milik negara Cina (BUMN) telah memulai pengembangan lebih lanjut atas pelabuhan Hambantota yang kontroversial termasuk pembangunan bandara, banyak jalan raya, pabrik-pabrik, kilang-kilang minyak, dan zona industri seluas 15.000 hektar. Proyek itu memicu protes keras karena kekhawatiran bahwa Beijing berusaha untuk secara efektif mendirikan koloni Cina (ekonomi dan militer) di Sri Lanka.

Di Kamboja, akuisisi lahan skala besar melalui konsesi lahan ekonomi (ELCs) secara efektif memonopoli kontrol lahan di tangan berbagai perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan Cina. Saat ini, lebih dari dua juta hektar lahan di negara ini berada di bawah ELC, yang sebagian besar telah diubah menjadi perkebunan tebu, karet, pisang, singkong, lada, pulp, kayu, dan buah naga. Sekitar 370.000 hektar di bawah 42 ELC telah diberikan kepada perusahaan Cina, seperti perkebunan tebu seluas 40.000 hektar yang dikelola oleh Heng Fu Sugar Co. di provinsi Preah Vihear.

Disaat kebangkitan China sebagai kekuatan global telah memperburuk kondisi perampasan tanah, disaat yang sama pemain lama seperti Bank Internasional, investor asing, dan oligarki lokal serta tuan tanah terus menerus berada dibalik penggusuran rakyat pedesaan yang tak terhitung jumlahnya.

Di India misalnya, pemerintah Jepang bersama dengan lembaga keuangan internasional (IFI) seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia (WB), terus menjadi sumber utama pendanaan untuk proyek "pembangunan" negara tersebut yang mengancam kehidupan dan penghidupan penduduk pedesaan India. Hal ini termasuk pengembangan Kawasan Industry dan Investasi Nasional (NIMZ), Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) untuk Pengembangan Kawasan Usaha Terpadu (PRIDE), SEZ, dan 2.700 km persegi Koridor Pesisir.

Di Filipina, pemerintah Duterte telah memperkenalkan program pembangunan infrastruktur dengan jargon “Build, Build, Build” atau “Membangun, Membangun, Membangun” senilai 180 miliar dolar AS, sebagian besar didanai oleh pinjaman dari China, Jepang, dan pinjaman luar negeri lainnya dan termasuk pembangunan pelabuhan, jalan, kereta api, dan fasilitas irigasi diantara program pembangunan lainnya. saat ini sudah berlangsung proyek kereta api cepat Php71-miliar MRT-7 yang akan menghubungkan Kota Quezon di wilayah ibukota nasional ke provinsi yang berdekatan Bulacan yang akan membabat lebih dari 300 hektar lahan pertanian dan menggusur sekitar seribu petani dan keluarga mereka. Yang lainnya adalah proyek Clark Green City di provinsi Tarlac dan Pampanga, yang bertujuan untuk mengembangkan berhektar–hektar lahan pertanian produktif didalamnya, antara lain, distrik bisnis dan ekowisata pusat yang akan memindahkan sekitar 20.000 sukubangsa minoritas dan keluarga petani di lima kota.

Di Indonesia, pemerintahan Jokowi memiliki 225 mega proyek infrastruktur yang dibiayai oleh Bank Dunia, ADB, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang didukung oleh China, serta oleh investor dari Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Jerman, dan Cina. Proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan bendungan, jalan raya dan toll, bandara, pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), proyek konservasi dan cagar alam adalah skema kepentingan kapitalis monopoli asing (Imperilis) di Idonesia yang sangat besar dan membutuhkan tanah yang sangat luas yang akan mengusir jutaan rakyat.

Sebagian besar lainy, lahan-lahan juga terus dikonversi menjadi perkebunan untuk kelapa sawit, karet, bubur kertas, dan menjadi proyek PIS-Agro (terutama oleh Bank Dunia dan berbagai perusahaan multinasional/transnasional) dan Food Estate.

PIS-Agro bertujuan untuk mempromosikan kemitraan swasta dan Negara (PPP) untuk membawa apa yang disebut Visi Baru Pertanian dari Forum Ekonomi Dunia (WEF). Proyek-proyek pertambangan, proyek-proyek energi, dan pengembangan pariwisata (di mana kepentingan-kepentingan Cina berada) juga menonjol di antara proyek-proyek investasi asing di Indonesia yang berpotensi menguak dampak-dampak negatif pada masyarakat pedesaan.

Program reforma agraria dan perhutanan sosial yang di cetuskan pemerintah Jokowi, merupakan program populis dan mengilusi rakyat. Namun Implementasi program tersebut telah menyadarkan kaum tani bahwa Reforma Agraria dan perhutanan sosial pemerintah Jokowi hanyalah skema untuk percepatan perampasan tanah, mempertahankan monopoli tanah dan menjerumuskan lebih dalam kaum tani dalam praktek peribaan dan sewa tanah yang semakin dalam serta telah menyebabkan konflik antar rakyat.

Situasi saat ini, dimana semakin meningkatnya penggusuran, perampasan tanah telah menyebabkan jumlah yang besar rakyat Indonesia yang tidak bertanah.

Monpoli dan perampasan tanah terus masif dibawah pemerintahan Jokowi-JK guna kepentingan pembangunan infrastruktur, perluasan perkebunan skala besar dan pertambangan besar. Keseluruhan proyek ini dilakukan untuk memfasilitasi kepentingan Imperialisme, tuan tanah besar dan borjuasi besar komperador.

Program reforma agraria dan perhutanan sosial adalah program populis dan mengilusi rakyat, melalui kekuasanya (Jokowi) berusaha keras untuk meraih hati rakyat agar tetap dipilih dan memanangkan konstalasi pemilihan presiden tahun 2019. Namun kaum tani dan rakyat Indonesia semakin menyadari bahwa program Reforma dan perhutanan sosial adalah program untuk melayani kepentingan Investor asing di Indonesia. Program reforma agraria pemerintah Jokowi hanyalah program sertifikasi lahan untuk kepentingan agunan bank sekaligus usaha untuk menyakinkan para Investor asing atas keterjaminan lahan dan keamanan.

Membaca dokumen dan mengamati pelaksanaannya, Program reforma agraria pemerintah Jokowi, tidak sama sekali ditujukan untuk mengurangi monopoli tanah ditangan segelintir orang. Tetapi Program Reforma agraria dan perhutanan sosial dijalankan untuk memperkokoh monopoli tanah dan sekaligus sebagai jalan mempercepat perampasan tanah milik kaum tani, Nelayan dan sukubangsa minoritas.

Sehingga Reforma agraria mustahil dapat berjalan bersama dengan terus dipertahankan sistem monopoli tanah, pemberian ijin ijin Hak guna Usaha dan konsesi lainya disatu sisi serta kriminalisasi, penganiayaan dan pembunuhan terhadap para petani tak bertanah untuk memperjuangkan hak atas tanah.

Perampasan tanah dan Militerisasi
Perampasan tanah juga sering disertai dengan militerisasi dan pelanggaran HAM Berat di pedesaan. Dari Januari 2017 hingga Februari 2018, Land and Rights Watch, inisiatif PAN Asia Pasifik (PANAP), telah memantau 155 korban pembunuhan terkait dengan perjuangan atau konflik at
as tanah dimana terjadi hampir 12 pembunuhan per bulan dan 13.484 korban pengungsian.

Di Filipina, dipulau Mindanao Selatan telah ditempatkan di bawah kebijakan Darurat Militer (Martial Law) sebagai bagian dari program counter insurgency (COIN) yang disebut "Oplan Kapayapaan", Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) yang digunakan untuk melindungi instalasi dan infrastruktur pengusaha-pengusaha besar dan tuan tanah besar, dan untuk membersihkan area untuk memberi jalan bagi apa yang disebut proyek pembangunan, termasuk perkebunan dan operasi pertambangan.

Di Indonesia, di bawah pemerintahan Jokowi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap para petani yang menentang perampasan tanah terus meningkat. Setidaknya 138 peristiwa kekerasan telah dilaporkan di mana 648 orang ditangkap, 235 orang ditembak dan 10 orang tewas karena perampasan tanah. Bahkan termasuk berbagai bentuk kekerasan dan pengusiran paksa lainnya terus berlansung massif di Pedesaan.

Kasus terbaru terjadi terhadap pak. Ayub, salah satu petani di desa Olak-olak, Kecamatan Kubu kabupaten Kubu Raya-Kalimantan Barat saat ini ditahan kepolisian karena dikriminalisasi oleh Tuan Tanah, penembakan 3 orang warga di Jeneponto, penangkapan 3 orang petani Sopeng atau penggusuran yang terjadi di Luwuk Sulawesi Tengah, serta penggusuran dan pengusiran paksa lainnya terhadap suku bangsa minoritas, masyarakat pesisir bahkan masyarakat miskin perkotaan yang mana tempat mereka akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur komersial milik tuan tanah dan penguaha-pengusaha besar.

Hari Kaum Tidak Bertanah
29 Maret adalah peristiwa bersejarah dalam perjuangan rakyat untuk mendapatkan tanah dan sumber daya di Asia. Pada tanggal yang sama 14 tahun yang lalu, Koalisi Petani Asia (APC) didirikan dan sejak saat itu tanggal 29 Maret di tetapkan sebagai hari kaum tidak bertanah dan secara konsisten APC dan berbagai organisasi kaum tani di Asia terus memperingatinya dengan berbagai aktifitas terutama aksi massa dan ambil bagian dalam menentang penindasan dan penghisapan oleh imperialis dan tuan tanah.

Tahun lalu saja (2017), APC dengan PAN Asia Pasific (PAN AP) meluncurkan kampanye “No Land No Life”. Dalam kampanye ini APC mengkoordinasikan aksi yang diselenggarakan oleh anggota APC dan mitra PANAP yang terdiri dari 33 organisasi di 8 negara seperti di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Sri Lanka dan Filipina secara paralel mulai tanggal 25 sampai 29 Maret menentang perampsan dan monopoli tanah dan mengusung perjuangan untuk Refrorma Agraria Sejati dan kedaulatan pangan. [] Sumber tulisan di ambil dari bahan sosialisasi APC tentang hari ketiadaan tanah 2018.

Jumat, 24 Agustus 2018

Reforma Agraria Sejati Sebagai Jalan Menuju Pembebasan Buruh



Reforma Agraria Sejati Sebagai Jalan Menuju Pembebasan Buruh[1]

Oleh :  Rudi HB Daman
(Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia/GSBI)

I.                   Pengantar

Paket Kebijakan Ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) yang dikeluarkan sejak September tahun 2015 sampai sekarang dengan 13 jilidnya telah menjadikan buruh, tani, dan rakyat luas semakin menderita parah (kronis) akibat beban krisis yang dihasilkan oleh sistem setengah jajahan dan setengah feudal. Paket kebijakan ekonomi ini memberikan keleluasaan bagi kapitalisme monopoli serta borjuasi komperador didalam negeri untuk mendapatkan fasilitas kemudahan yang dibungkus dalam deregulasi dan debirokratisasi.

Buruh, tani, dan lapisan rakyat terhisap luas mengalami kemerosotan kualitas hidup akibat pendapatannya semakin defisit, nilai riil upah semakin turun, ketidakpastian kerja, ketiadaan jaminan sosial yang pasti. Upah buruh semakin meningkat defisitnya melebihi 60 persen (dari kebutuhan hidup minimum atau living cost)  dan nilai riil upah telah mengalami penurunan 50 persen dibandingkan 12 tahun lalu. Paket Ekonomi Jokowi juga membatasi kenaikan upah buruh sebesar 10 persen tiap tahun melalui Paket Jilid ke-IV yang kemudian diperkuat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 pada Oktober  2015. Peraturan tersebut membatasi kenaikan upah buruh hanya 10 persen tiap tahun demi menjaga jalannya Paket anti rakyat yang merupakan implementasi skema neo-liberalisme imperialisme di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS).

Kamis, 23 Agustus 2018

Reforma Agraria (RA) Jokowi Palsu karena?


Reforma Agraria (RA) Jokowi Palsu karena?
Reforma Agraria (RA) Jokowi palsu karena hanya: a). Bagi-bagi tanah bekas HGU milik tuan tanah, b). Membagi tanah-tanah telantar milik tuan tanah, c). Membuka akses tanah milik tuan tanah besar seperti Perhutani kepada tani miskin dengan cara tumpang sari, PHBM, kemitraan. Namun tani miskin tidak merdeka atas tanah tersebut, dipaksa menanam tanaman, sesuai dengan kepentingan tuan tanah.

Dalam rencana program reforma agrarian Jokowi, 9 juta hektar lahan yang akan dibagikan terbagi dalam dua kategori. Pertama, legalisasi asset (4,5 juta Ha) dan kedua, redistribusi tanah (4,5 juta Ha). Legalisasi asset akan dibagi kembali dalam dua kategori; tanah transmigrasi yang belum bersertifikat (0,6 juta Ha) dan legalisasi asset (3,9 juta Ha). Sementara untuk kategori redistribusi tanah dibagi dalam; HGU habis dan tanah terlantar (0,6 juta Ha) dan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta Ha). Dari hal ini, sesungguhnya belum diketahui secara detail dimana program ini akan diimplementasikan.