Oleh : Rudi HB Daman
(Ketua Umum Gabungan Serikat
Buruh Indonesia/GSBI)
I.
Pengantar
Paket Kebijakan Ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan
Jusuf Kalla (JK) yang
dikeluarkan sejak September tahun 2015 sampai sekarang dengan 13 jilidnya telah
menjadikan buruh, tani, dan rakyat luas semakin menderita parah (kronis) akibat
beban krisis yang dihasilkan oleh sistem setengah jajahan dan setengah feudal. Paket
kebijakan ekonomi ini memberikan keleluasaan bagi kapitalisme monopoli serta
borjuasi komperador didalam negeri untuk mendapatkan fasilitas kemudahan yang
dibungkus dalam deregulasi dan debirokratisasi.
Buruh,
tani, dan lapisan rakyat terhisap luas mengalami kemerosotan kualitas hidup akibat
pendapatannya semakin defisit, nilai riil upah semakin turun, ketidakpastian
kerja, ketiadaan jaminan sosial yang pasti. Upah buruh semakin meningkat
defisitnya melebihi 60 persen (dari kebutuhan hidup minimum atau living cost) dan nilai riil upah telah mengalami penurunan
50 persen dibandingkan 12 tahun lalu. Paket Ekonomi Jokowi
juga membatasi kenaikan upah buruh sebesar 10 persen tiap tahun melalui Paket
Jilid ke-IV yang kemudian diperkuat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP)
No. 78 pada Oktober 2015. Peraturan
tersebut membatasi kenaikan upah buruh hanya 10 persen tiap tahun demi menjaga
jalannya Paket anti rakyat yang merupakan implementasi skema neo-liberalisme
imperialisme di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS).
Buah
dari kebijakan anti rakyat adalah perlawanan rakyat di berbagai daerah. Protes
massa yang intensif justru ditanggapi rejim dengan penangkapan dan
kriminalisasi, seperti yang dialami 24 aktifis buruh (dua diantaranya pekerja
hukum LBH-Jakarta).
Paket
Jokowi juga telah membuat perlawanan kaum tani semakin meningkat di perdesaan
karena beban krisis yang lebih parah akibat tidak adanya kenaikan upah buruh
tani, anjloknya harga komoditas, dan tingginya biaya produksi akibat kontrol
tengkulak dan tuan tanah, bunga riba yang tinggi, dan kenaikan harga kebutuhan
pokok yang intensif. Sejak berkuasa, rejim Jokowi telah melakukan 44 tindakan
kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani di 18 provinsi dengan penembakan
terhadap 58 orang, penagkapan 804 orang,
95 orang dikriminalisasikan dan 10 orang meninggal dunia.Tindakan kekerasan ini
menjadi bukti bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak berkehendak menjalankan
reforma agraria di Indonesia tetapi justru memperkuat sistem monopoli tanah
dalam sistem pertanian terbelakang di Indonesia.
Kebijakan
negara menjadikan Rakyat semakin sulit dapat mengontrol dan menggunakan
kekayaan alamnya sebagai dasar
pembentukan (forming) kapitalnya bagi
pembangunan industri nasional yang mandiri. Tidak adanya industri nasional yang
mandiri dan kuat akan terus membuat upah buruh selalu rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum,
suburnya pelaksanaan sistem kontrak dalam status kerja, tenaga produktifnya
menjadi terbelakang.
Oleh
karena itu, klas buruh sangat memiliki kepentingan besar terhadap pelaksanaan landreform sejati atau reforma agraria
sejati. Landreform sejati hanya dapat diperoleh melalui perjuangan bersama
dengan kaum tani, dan seluruh rakyat terhisap lainnya.
II.
Hilangnya
Kedaulatan Bangsa dan Terbelakangya Industri di Indonesia
Paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK tidak bertujuan membangun
industri nasional yang mandiri tetapi justru semakin membuat ketergantungan
terhadap investasi kapitalis monopoli asing dan meningkatkan penghisapan dan
perampasan upah buruh, kenaikan harga akibat inflasi yang dihasilkan dari
masuknya investasi asing, dan perampokan
terhadap kekayaan alam. Pemerintah
semakin memberikan kelonggaran yakni izin investasi, pemangkasan regulasi
pemerintahan pusat dan daerah, pengurangan dan pemangkasan pajak (tax amnesty), penguasaan tanah untuk
perkebunan dan pertambangan, kemudahan berinvestasi di kawasan industri dengan tambahan
subsidi listrik serta fasilitas penunjang lainnya.
Pada Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) sampai tahun
2035, pemerintahan Jokowi-JK masih mengandalkan industri manufaktur sebagai
capaian strategisnya. Akan ada 10 industri prioritas yang mengisi 36 kawasan
industri baru dengan estimasi penambahan luas lahan yang akan digunakan
mencapai 50 ribu hektar. Ini adalah bagian dari skema perampasan tanah
besar-besaran melalui proyek perluasan kawasan industri. Jokowi telah
melegalisasinya melalui PP No.3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional. 10 industri prioritas yang dicanangkan oleh
pemerintahan Jokowi-JK meliputi: (1) Industri pangan, (2) Industri farmasi,
kosmetik dan alat kesehatan, (3) Industri tekstil, kulit, alas kaki dan aneka,
(4) Industri alat transportasi, (5) Industri elektronika dan telematika, (6)
Pembangkit energy, (7) industri barang modal, komponen dan bahan penolong dan
jasa industri pendukung, (8) Industri hulu agro-industri, (9) logam dasar dan
bahan galian bukan logam, (10) Industri kimia dasar berbasis migas dan
batubara.
Target
penyerapan nilai investasi yang ingin dicapai adalah dari Rp. 270 triliun
(2015) menjadi Rp. 4.150 triliun (2035). Kebijakan tersebut menuntut
produktivitas yang lebih tinggi. Perusahaan-perusahaan besar milik asing dan
borjuasi komprador melakukan berbagai tindakan
efisiensi (dengan adanya perubahan bagian/departemen/line/sel kerja)
untuk mempercepat produksi dan kuatitas lebih besar. Selain itu, PHK dan mutasi
terhadap buruh semakin intensif. Selanjutnya, buruh dipaksa bekerja dengan
waktu lebih panjang karena harus mengejar limit waktu pengiriman barang dan stock opname, sesuai kebijakan perubahan
dweeling time (bongkar-muat) Situasi
ini terjadi di pabrik-pabrik berorientasi ekspor dan produksi consumer goods.
Apakah
investasi asing akan merombak karakter industri Indonesia
yang berorientasi eksport, industri ringan dan bukan industri dasar, industri
rakitan, bergantung impor bahan baku? jawabannya pasti Tidak.
Karakter industri di Indonesia tidak akan berubah selama masih menggantungkan
impor kapital asing dan masih beradanya (exist)
monopoli tanah pada sistem pertanian terbelakang oleh tuan tanah besar,
terutama negara.
Berdasarkan
data Kementerian Perindustrian tahun 2014[2], 64 persen dari
total industri Indonesia masih mengandalkan bahan baku, bahan penolong, serta
barang modal impor bagi proses produksi. Oleh karena itu, industri rentan
terhadap fluktuasi kurs rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Beberapa sektor industri yang sangat
bergantung impor bahan baku, yaitu: permesinan dan logam,
otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil
dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Sekitar 64% industri
itu mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80% serta menyumbang
65% penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi, menurut data kementerian neraca
perdagangan enam dari sembilan industri itu ternyata defisit karena impor lebih
besar dibandingkan ekspor.
Berdasarkan
data Bank Indonesia[3],
neraca perdagangan nonmigas pada Agustus 2016 mencatatkan surplus USD 0,92
miliar. Nilai surplus tersebut berkurang dari bulan Juli lalu karena
peningkatan impor bahan baku dan barang modal
seperti mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik,
palstik dan barang dari plastic, serta kendaraan dan bagiaanya.
Di sisi lain, paket ekonomi politik terus melanjutkan kebijakan
pembebasan pajak (tax heaven) dan
keringanan pajak (tax allowance).
Kebijakan ini hanya memperkuat dominasi imperialis karena hanya perusahaan
dengan nilai investasi minimal Rp. 1
triliun yang memperoleh tax heaven
dan tax holiday, dan keringanan PPh
21 bagi industri padat karya dengan jumlah pekerja minimal 5000 orang, yang
mayoritasnya milik imperialis dan borjuasi besar komprador dan tax amnesty
untuk menyokong sumber dana segar untuk membiayai proyek-proyek strategis
nasional.
DKI Jakarta yang menjadi pusat utama perdagangan dan jasa di
Indonesia, secara intensif memaksa proletariat, rakyat pekerja lainnya dan
lapisan borjuasi kecil perkotaan untuk menghabiskan pendapatan dan tabungannya
untuk konsumsi kebutuhan hidup berbasiskan kredit dan transaksi elektronik
(e-money).
Kepastian kerja dan PHK terus menjadi ancaman. Fleksibilitas
pasar tenaga kerja (market labor
flexibility) yang diterapkan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
atau sistem kerja kontrak, sistem kerja borong dan harian lepas, semakin
diintensifkan. Bahkan sistem PKWT tengah diupayakan berlaku sekali jalan 5
tahun. Dengan cara itu, buruh dibatasi agar bisa mendapatkan perubahan status
menjadi buruh tetap (PKWTT) dan tentu saja upah yang dibayarkan dapat menyesuaikan
sesuai ketentuan PP 78/2015 dan Permenakertrans 21/2016. Lebih dari itu,
terkadang buruh masih harus “menyogok” atasan hanya untuk sekedar memperpanjang
masa kontrak kerjanya.
Dari
keadaan demikian, Paket Ekonomi Jokowi telah mengintensifkan perampokan asing
terhadap bangsa dan tanah air sehingga
kehilangan kedaulatan. Paket Jokowi tidak akan sedikit pun memberikan dampak
bagi pembangunan industri nasional kecuali semakin menjadi boneka bagi
kepentingan kapitalis monopoli asing. Negeri kita selalu tetap menjadi negeri
agraris terbelakang dan pra-industri yang mengutamakan ekspor bahan mentah dan
import bahan bahan baku, industri berorientasi ekspor, teknologi terbelakang
dan menghandalkan penghisapan mutlak terhadap tenaga kerja. Semua tujuannya untuk
mempertahankan politik upah murah serta tetap terpeliharanya cadangan tenaga kerja yang besar
(pengangguran) agar dapat memelihara sistem upah murah di negeri setengah
jajahan-setengah feudal.
III. Palsunya Reforma Agraria Jokowi dan Tidak Memberi Syarat Bagi
Pembangunan Industri Nasional
yang Mandiri.
Program Reforma Agraria (RA) Jokowi, hakekatnya adalah palsu karena hanya: a). Bagi-bagi tanah bekas HGU
milik tuan tanah, b). Membagi tanah-tanah telantar milik tuan tanah, c).
Membuka akses tanah milik tuan tanah besar seperti Perhutani kepada tani miskin
dengan cara tumpang sari, PHBM, kemitraan. Namun tani miskin tidak merdeka atas
tanah tersebut, dipaksa menanam tanaman, sesuai dengan kepentingan tuan tanah.
Dalam rencana program reforma agrarian Jokowi, 9
juta hektar lahan yang akan dibagikan terbagi dalam dua kategori. Pertama,
legalisasi asset (4,5 juta Ha) dan kedua, redistribusi tanah (4,5 juta Ha).
Legalisasi asset akan dibagi kembali dalam dua kategori; tanah transmigrasi
yang belum bersertifikat (0,6 juta Ha) dan legalisasi asset (3,9 juta Ha).
Sementara untuk kategori redistribusi tanah dibagi dalam; HGU habis dan tanah
terlantar (0,6 juta Ha) dan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta Ha). Dari hal
ini, sesungguhnya belum diketahui secara detail dimana program ini akan
diimplementasikan.
Tujuan
sesungguhnya dari program RA Jokowi melestarikan monopoli tanah, karena tidak mengurangi sama sekali penguasaan tanah skala luas.
Tuan tanah tetap berkuasa memonopoli tanah, tetap bebas menghisap dan menindas
buruh tani dan tani miskin. Pemerintahan Jokowi hanya membagikan tanah sisa
milik tuan tanah kepada rakyat pedesaan secara terbatas dan hanya cukup untuk
sebagian kecil (minoritas) rakyat miskin pedesaan, sementara jumlah tani miskin
dan buruh tani terus meningkat. Reforma agrarian Jokowi tetap mempertahankan
sistem yang menjerat kaum tani dan masyarakat luas pedesaan atas tenaga produktif.
Reforma agraria Jokowi tidak menjamin kenaikan upah buruh tani
karena dipertahankannya skill rendah tenaga kerja di perdesaan. Keterbelakangan
itu semakin menyatu dengan kemiskinan yang diakibatkan penghisapan surplus
produs, salah satunya melalui riba yang tinggi (kredit, pinjaman atau bantuan
dari bank atau pemerintah).
Tidak ada artinya bagi rakyat
Indonesia jika Jokowi memberikan 9 juta hektar kepada kaum tani, namun disisi
yang lain memberikan 26 juta hektar kepada perusahaan-perusahaan perkebunan
sawit ataupun jutaan hektar lainnya untuk pertambangan skala besar.
Pemerintahan Jokowi masih tetap memberikan kemudahan investasi untuk penguasaan
lahan di Indonesia melalui paket kebijakan ekonomi, termasuk memberikan
kemudahan dalam proses perijinannya.
Jelas, RA Jokowi tidak akan membebaskan tenaga produktif kaum tani
dari relasi penghisapan feudal. RA Jokowi tetap mempertahankan kekuasaan sistem
monopoli tanah dengan mempertahankan sistem pertanian terbelakang yang menjadi
basis sosial imperialisme di Indonesia.
Esensi Reforma
agraria sejati adalah penghapusan monopoli tanah yang dilakukan oleh tuan tanah,
yakni penghisapan feudalism dan
penindasan yang bersumber dari monopoli tanah. Reforma agraria sejati, suatu
konsep menyeluruh tata kelola dan kepemilikan atas tanah dan sumber-sumber agraria, yang sanggup membebaskan kaum tani dan rakyat Indonesia secara
umum, dari penghisapan dan penindasan feodalisme dan kapitalisme monopoli (imperialisme).
Reforma agraria
sejati dengan pelaksanaan landreform tidak hanya memiliki aspek
ekenomi semata, tetapi juga aspek politik dan kebudayaan. Reforma agraria hanya
bisa lahir dari politik yang berdaulat dan demokratis yang didukung rakyat dan
bukan oleh dikte imperialis. Politik yang berdaulat dan ekonomi yang mandiri
akan menjadikan perkembangan kebudayaan tenaga produktif yang tinggi, meliputi:
sains dan ilmu pengetahuan, kesehatan dan kualitas hidup bangsa.
Reforma agraria sejati, sebagai fundasi bagi pembangunan industri
nasional untuk melahirkan modernisasi pertanian, sekaligus menjadi syarat
mutlak bagi kemajuan tenaga produktif di pedesaan. Hasil-hasil landreform akan diakumulasi dan menjadi
modal bagi pembentukan kapital dalam negeri secara mandiri, tanpa bantuan
korporat kapital finans.
Pembentukan kapital tersebut akan mendorong pembangunan industri
yang terencana sesuai kebutuhan nasional atau rakyat. Pembangunan industri
nasional sekaligus memutuskan ketergantungan kapital, alat kerja, sarana
produksi pertanian hingga tujuan produksi pertanian yang tidak diabdikan pada
kepentingan tuan tanah besar dan imperialisme.
Serikat buruh memiliki peranan tinggi yang dibantu oleh negara
dalam menetapkan produksi (volume produksi, sistem dan cara kerja, keuangan,
perancanaan, dan lain-lain) secara kolektif. Karakter anarkis dalam produksi
sistem kapitalisme dapat ditekan sampai tidak ada karena produksi yang
dihasilkan bersifat sosial.
Terbentuknya industri
nasional mandiri akan memobilisasi seluruh rakyat untuk bekerja sehingga
tidak ada satu pun rakyat menganggur. Upah yang diterima buruh sesuai dengan
kemampuan dan hasil kerja dari tenaga yang diberikan, dan semua bekerja untuk
kebutuhan rakyat mayoritas. Dalam sistem ini tidak ada disparitas (pembedaan)
upah yang besar sehingga terdapat jarak antara yang bekerja otot dengan otak.
Buruh akan mendapatkan upah yang nilainya dapat mencapai kebutuhan hidup
minimum, sedangkan kebutuhan utama seperti pendidikan dan kesehatan dapat
diterima rakyat dengan gratis. Selain itu, rakyat mendapatkan subsidi yang
besar bagi pemenuhan kebutuhan pokok.
Dengan demikian, perjuangan landreform sejati menjadi perjuangan
klas buruh, petani, dan seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan reforma agraria
sejati akan menjadi jalan bagi pembangunan ekonomi yang mandiri, berdaulat
secara politik, dan berkepribadian secara kebudayaan. [rhbd2016]#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar