Pemberangusan Demokrasi dan Intensifikasi Fasisme Negara di Bawah Rezim Jokowi dengan Penerbitan Perppu No 02 Tahun 2017
I.
Demokrasi dan Fasisme
di Indonesia
A.
Demokrasi di Indonesia
Sebagai Negeri Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
Jargon yang pernah lahir dari
gerakan demokratis di Eropa dan Amerika “Kekuasaan
dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat”, “Kebebasan (Liberte), Persamaan
(Egalite), Persaudaraan (Fraternite), kini telah hangus terbakar mengikuti
perkembangan jaman imperialis yang semakin tua dan sekarat. Celakanya,
implementasi jargon sistem demokrasi tersebut hanya terbatas melalui sistem
pemilihan umum yang ditunjukkankan semata-mata hanya pelibatan masyarakat luas
dalam pemungutan suara. Akan tetapi Demokrasi dalam makna sesungguhnya, yang
seharusnya dijalankan untuk menjamin, memenuhi, dan melindungi hak dan
kepentingan rakyat, semakin menjauh dari cita-cita rakyat. Demokrasi semakin
palsu karena tidak bisa menjawab masalah pokok rakyat, justru sebaliknya;
menindas dan memeras rakyat.
Dalam negara borjuasi, sesungguhnya
hanya dikenal dua bentuk aturan atau hukum yang diterapkan oleh pemerintah,
yakni pertama: Demokrasi borjuasi (liberal) – yang diberlakukan
kepada sesama borjuasi sendiri. Kedua: Hukum fasis yang diterapkan
pada musuh-musuh klas borjuasi yang berkuasa (setiap kelompok dan golongan yang melawan kebijakan sistem
kekuasaannya). Keduanya, baik demokrasi liberal maupun fasis merupakan
manifestasi dari kediktatoran klas borjuasi itu sendiri.
Artinya, demokrasi borjuasi
bersifat demokratis secara relative. Setiap bentuk pertentangan atau
perselisihan antar borjuasi (Ex. Borjuasi yang berkuasa vs Borjuasi lemah di luar
kekuasaan) berkaitan dengan kepentingan mereka, dalam penyelesaiannya masih
dapat dikompromikan antar mereka. Namun pada saat menghadapi kebangkitan
gerakan klas buruh dan rakyat luas yang mengancam kekuasaan mereka, maka mereka
segera menampakkan topeng sejatinya, mencampakkan wajah ‘demokratis’ dan dengan
berbagai skema menjalankan tindasan fasis terhadap rakyat.
Di era kapitalisme monopoli
(imperialisme) yang tengah mengalami kemerosotan strategis, imperialisme dunia
berusaha keras mempertahankan sistem kapitalisme dengan mempromosikan demokrasi
borjuasi yang kian bangkrut, kebijakan neo-liberal, melegalkan dan menerapkan
berbagai peraturan yang membenarkan tindakan terror dan kekerasan terhadap
rakyat, melancarkan perang agresi dan intervensi untuk penaklukan dan pembagian
atas teritori dunia.
Demikian pula di Negara-negara
setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) seperti Indonesia yang terus berada
di bawah dominasi Imperialisme tunggal Amerika Serikat, dengan watak yang
sangat bergantung pada dikte politik, ekonomi, kebudayaan, militer yang
dilancarkan oleh imperialis tunggal Amerika Serikat. Pemerintah Jokowi terus
didikte menjalankan program dan kebijakannya dengan berbagai topeng demokrasi
palsunya. Kekuasaan negara semakin berwajah kontrol dan teror, baik terhadap
rival politiknya dan terlebih terhadap rakyat Indonesia, sebagai jawaban atas
krisis ekonomi yang tidak ada jalan keluarnya lagi.
Pemerintah mengambil kebijakan
dan membentuk berbagai peraturan dan undang-undang tanpa didasarkan pada
kenyataan penghidupan rakyat dan tanpa melibatkan rakyat. Pemerintah bahkan
akan lebih agressif dalam menutup ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi
dan pendapatnya, termasuk hak berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang
seharusnya sebagai manifestasi dari demokrasi itu sendiri. Sebab apapun
kebijakan, peraturan dan hukum serta program yang akan dijalankan oleh
Pemerintah sudah pasti akan diterima dan dihadapi oleh rakyat
B.
Fasisme di Indonesia
Sebagai Konsekwensi di Negara SJSF Dibawah Pemerintahan Boneka Imperialisme AS
Dalam pengertiannya, Teori
borjuasi memandang masalah fasisme dari pendirian dan pandangan klas-nya dan
menempatkannya sebagai isu “inter-klas” atau sesama borjuasi semata. Artinya
bahwa hanya memandang pada perilaku borjuasi yang berkuasa terhadap borjuasi di
luar kekuasaannya. Bagi teoritisi borjuasi, ukuran fasis adalah ketika kelompok
borjuasi dari klas yang berkuasa melarang partai/kekuatan borjuasi lainnya,
memberangus kebebasan dan dicabutnya hak-hak demokratis individual borjuasi
dalam mengekspresikan pendapat yang berlawanan dengan pemerintahan dan partai/kekuatan
borjuasi fasis yang berkuasa.
Karenanya, sistem demokrasi
borjuasi apakah ‘demokratis’ atau fasis tidak bisa diukur dengan hanya adanya
“pemilu bebas” dan penerapan demokrasi borjuasi secara relatif. Konsepsi teori
borjuasi tentang fasism sebagai isu “inter-klas” borjuasi semata adalah
pandangan yang berat sebelah dan sempit.
Namun berbeda bagi rakyat dalam
memandang Fasisme. Rakyat tertindas memaknai fasisme sebagai ekspresi
kediktatoran negara dibawah kontrol klas yang berkuasa dan menindas klas yang
lainnya melalui tindakan teror terbuka, khususnya menyerang secara langsung
gerakan gerakan rakyat yang secara konsisten melakukan kritik, protes dan perlawanan
atas berbagai kebijakan anti rakyat yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
berkuasa.
Dalam kerangka praktis, mengukur
derajat fasisme suatu rezim (apakah silence/terselubung atau fasis secara
penuh/terbuka) ditentukan dari tindakan politik yang diterapkan terhadap
rakyat. Baik tindakan politik secara umum maupun klas/golongan rakyat secara
khusus, menciptakan berbagai instrumen peraturan/hukum yang melegitimasi
tindakan militer fasis, penguatan formasi kekuatan fasis melalui polisi/militer
dan paramiliter yang digunakan untuk melawan aspirasi dan gerakan rakyat.
Fasisme Terselubung
(Silence Fascism)
adalah situasi yang pada hakekatnya fasis dimana negara menghadapi situasi
‘relatif damai’, namun seluruh kekuatan negara (kabir, aparat polisi, militer, paramiliter,
dan mesin propagandanya), terus bekerja aktif menebar dan menjaga ketakutan
rakyat, mengintimidasi dan terus mempromosikan demokrasi palsu disisi
lain.
Fasisme terbuka adalah
tindakan teror terbuka dengan melakukan tindasan polisional, militer, paramiliter
secara langsung dengan tindakan kekerasan, pembubaran paksa, penangkapan,
penyiksaan, pembunuhan terhadap gerakan rakyat.
Akar
kelahiran fasisme adalah
krisis dalam sistem kapitalisme di jaman imperialism yang semakin sekarat dan
barbar mempertahankan sistem kapitalisme dunia dan menimpakan beban krisis sistem
kapitalisme di pundak klas buruh dan rakyat melalui jalan kediktatoran militer
fasis. Mereka menggunakan kekecewaan massa rakyat terhadap kebangkrutan sistem
kapitalisme dengan kedok “penyelamatan nasional”, “mengatasnamakan seluruh
bangsa” dan menjalakan sistem fasisme.
Fasisme
adalah kediktatoran teror terbuka dari kapital finans yang paling jahat, paling
sovinistik dan paling imperialis. Sementara bagi negeri jajahan dan setengah jajahan,
mereka memaksakan tindasan teror fasis melalui pemerintah boneka yang dipaksa
tunduk-patuh melayani kepentingan imperialis dan klik klas-klas reaksi domestik
(borjuasi komprador, tuan tanah, kabir) untuk menindas rakyat.
Apa yang dimaksud dengan
kediktatoran teror terbuka dari kapital finans yang paling jahat, paling
sovinis dan imperialis? Paling jahat adalah
sebagai kekuatan yang paling kontra-terhadap gerakan rakyat dan paling anti
klas buruh dan rakyat yang membawa aspirasi sejati untuk perubahan dan
kedaulatan suatu negeri. Sedangkan yang dimaksud paling sovinis dan paling
imperialis adalah tindakan brutal berkedok kepentingan nasional melalui perang agresi dan intervensi militer
terhadap bangsa lain yang berdaulat maupun menyerang gerakan demokratis rakyat
dan penaklukan atas bangsa lain.
C.
Sejarah Fasisme di
Indonesia
Di Indonesia, tindasan fasis
negara terhadap rakyat telah mengalami sejarah dan perkembangan yang panjang
dan terus buruk.
C.1.
Indonesia dibawah fasisme Jepang (1942-1945)
Penindasan kejam secara politik
dan penghisapan ekonomi (romusha atau kerja paksa) untuk memenuhi sumber
logistik dan mobilisasi rakyat menjadi tentara perang fasis Jepang. Fasis
Jepang secara khusus menindas gerakan revolusioner dan pembebasan nasional sebagai
musuh fasis yang paling berbahaya dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan
besar-besaran.
C.2.
Indonesia dibawah fasisme Soeharto (1965-1998)
Melakukan penindasan fasis paling
brutal yang pernah ada dalam sejarah Indonesia modern yang menelan korban
jutaan rakyat Indonesia. Pemerintahan Soeharto membentuk KIN kemudian berganti
BAKIN, Kopkamtib berwenang melakukan opsus (operasi khusus) di daerah konflik,
menetapkan DOM (daerah operasi militer), opsus penculikan 23 aktifis pro-dem
era 97/98-an, dan lain sebagainya.
C.3.
Indonesia pacsa Soeharto dibawah rezim BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati,
SBY, Jokowi
Pemerintahan BJ Habibie membentuk
SGI (Satuan Gabungan Intelejen) Satuan Gabungan Intelijen (SGI) biasanya diturunkan di
wilayah-wilayah yang dikategorikan wilayah konflik, dimana operasi militer bisa diterapkan. Merujuk pada
penanganan konflik Aceh (melalui DOM Aceh), konflik Papua (DOM Papua), konflik
Ambon, konflik Poso dan masa referendum Timor Timur 1999. Meski satuan ini
dirancang untuk lintas institusi keamanan, namun satuan ini didominasi oleh
TNI, khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Secara esensi, seluruh pemerintah
pasca Soeharto hingga SBY dan Jokowi saat ini, tidak mengubah secara mendasar
seluruh warisan politik fasis Soeharto seperti Tap MPR No 25/1966, termasuk
aspek militer tidak membubarkan komando teritorial dan terus memperkuat instrumen dan kekuatan
fasistis dengan mengeluarkan berbagai regulasi.
Pasca peristiwa 9/11/2001, AS
memaksakan kepada seluruh pemerinta boneka dengan bantuan yang mengikat dan
bersyarat untuk mendukung kampanye AS anti-teror: Bantuan keuangan, pelatihan
militer, bantuan senjata, pembentukan satuan anti-teroris, dsb seperti yang
tertuang dalam perjanjian bilateral AS-Indonesia dibawah pemerintah Megawati
Soekarno Putri yang mendukung kampanye global AS melawan terorisme.
Saat ini, kenyataan tersebut
dapat dilihat dari berbagai aspek, khususnya aspek keamanan dan pelibatan
aparat keamanan (TNI, POLRI dan Sipil) yang terus meningkat. Dalam mengamankan
program dan berbagai asset negara, menetapkan OVNI, menghadapi aksi protes dan
demonstrasi yang dilakukan rakyat dalam mempertahankan dan menuntut pemenuhan
haknya, terus dihadapkan dengan represifitas aparat keamanan.
Hal ini, nyata dialami oleh
jutaan rakyat, klas buruh, kaum tani, kaum miskin kota, pemuda-mahasiswa, kaum
perempuan yang konsisten melakukan aksi-aksi protes hingga pemogokan dalam menuntut
kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja dan kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat. Kaum tani, suku bangsa minoritas, nelayan, juga mengalami hal yang semakin buruk,
dirampas tanahnya untuk proyek infrastruktur melayani industri milik imperialis
(jalan tol, kawasan industry, modernisasi pelabuhan, waduk, PLTA, PLTU, dsb)
untuk melancarkan perampasan super-proft, proyek berkedok konservasi seperti
taman nasional, hutan lindung, hutan produksi, dsb, dan perampasan produk lebih
kaum tani. Kaum miskin kota dirampas tanahnya untuk berbagai proyek reklamasi,
infrastruktur, pengembangan mall, property, dsb. Demikian pula oleh pemuda,
perempuan, kaum miskin perkotaan, serta sektor dan golongan rakyat tertindas
lainnya. Mereka selalu dihadapkan dengan berbagai bentuk intimidasi dan terror,
tindak kekerasan dan kriminalisasi ketika memperjuangkan haknya.
Hal lainnya, upaya pemerintah
untuk mengamankan kekuasaan dan mempermulus kebijakan anti rakyatnya,
ditunjukkan dengan peningkatan anggaran militer dan kepolisian di saat pada
waktu bersamaan pemerintah justeru agressif menaikkan pajak dan pemotongan
subsidi public. Indonesia sejak tahun 2006 -2016 mengalami kenaikan anggaran
belanja militer dan keamanan sebesar 150 persen. Kenaikan jumlah anggaran tersebut
menjadikan Indonesia masuk dalam 20 besar dunia dalam kenaikan jumlah anggaran
militer. Tahun 2015, Indonesia juga masuk dalam 8 besar importir persenjataan
militer dunia. Meningkatnya ketegangan dunia dan perang melawan terror telah
dijadikan dalih oleh pemrintah untuk menaikkan anggaran militer dan
persenjataan.
Dalam aspek regulasi, pemerintah
telah menetapkan berbagai regulasi fasis yang terus mengorbankan rakyat,
seprti: UU PKS, UU Kamnas, Melegitimasi campur tangan militer dalam
penindas perjuangan klas (konflik
sosial, perlawanan bersenjata, dsb). UU
Intelejen – kewenangan BIN dan Intelejen militer untuk menangkap dan
memeriksa yang melanggar ketentuan hukum dimana kewenangan penegakan hukum
hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum polisi, jaksa dan aparat lainnya
yang diatur KUHP. UU Ormas – Memperkuat mekanisme kontrol atas hak-hak demokrasi rakyat.
Seluruhnya, berfungsi sebagai
kontrol politik terhadap rakyat dan melegitimasi tindasan fasis dari aparat
polisi-militer dan atau instansi pemerintah terkait lainnya. Kebijakan inilah
yang kemudian saat ini dan kedepannya akan semakin buruk mengancam demokrasi,
kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyat melalui penerbitan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 saat
ini.
II.
Perppu No. 2 Tahun
2017 adalah Wujud Nyata Tindasan Fasis
Pemerintah Jokowi: Pembungkaman Demokrasi, Pemberangusan Organiasi dan
Kebebasan Berpendapat bagi Rakyat
Keluarnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang
Perubahan UU Ormas tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo
(Jokowi) pada 10 Juli lalu, merupakan ancaman nyata bagi perkembangan demokrasi
di Indonesia, terutama hak rakyat untuk berorganisasi dan berpendapat.
Kelahiran Perppu
ini menjelaskan arah dan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK untuk memastikan
kestabilan politik dengan pendekatan keamanan di tengah keadaan krisis, baik
itu krisis di level internasional maupun dalam negeri. Dunia internasional saat
ini masih dalam keadaan yang tidak menentu, akibat krisis terutama ledakan
krisis properti tahun 2008 di AS yang dampaknya harus ditanggung oleh rakyat di
berbagai negeri. Berbagai lembaga keuangan raksasa gulung tikar, meskipun telah
menipu dan merampas uang milik rakyat dalam berbagai skema.
Keadaan tersebut
kemudian justru membuat berbagai negeri besar seperti AS, Uni Eropa, Jepang,
Rusia hingga Tiongkok untuk semakin ekspansif
terutama untuk menanamkan kapital mereka ke berbagai negeri jajahan,
tergantung maupun setengah jajahan. Mereka tidak ingin akumulasi super kapital
mereka mandeg. Melalui negara secara bilateral maupun berbagai lembaga keuangan
dan pembiayaan pembangunan seperti WB, IMF, ADB hingga AIIB dan berbagai
lembaga operator kapital finance milik TNC/MNC untuk mendanai perbagai proyek
hutang, investasi dan pembangunan di berbagai negeri. Jika cara ini mentok,
maka jalan lainnya adalah kriminalisasi dan isolasi sebuah negeri yang kemudian
berujung perang agresi.
Saat ini di
bawah pemerintahan Donald Trump, imperialis AS
dan sekutunya semakin agresif melakukan berbagai manuver hingga provokasi keamanan
diberbagai kawasan. Perebutan pasar, tenaga kerja hingga bahan mentah tetap
menjadi dasar utama. Kapital finance membuat keadaan tersebut semakin cepat,
kejam dan rakus. Perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam, megaproyek
infrastruktur hingga perampas hak-hak pekerja semakin masif di mana-mana.
Berbagai upaya
untuk membatasi aspirasi demokratis rakyat untuk keluar dari tindasan dan
penghisapan juga dilakukan oleh berbagai negara. Pemerintah berbagai negeri
semakin tidak barbar dan anti demokrasi
Mulai dari
Kampanye “Perang Agresi dan Intervensi melawan Terorisme global” pimpinan AS
dan diadopsi oleh berbagai negeri telah menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan
siapapun yang dianggap melawan dan membahayakan kepentingan kapitalis finans mereka,
sebuah kebijakan yang tidak hanya menindas umat Islam namun juga menghancur kebebasan
rakyat dan kedaulatan bangsa. Kemudian kebijakan anti migran AS yang di
keluarkan oleh Trump, Kekerasan dalam memberangus gerakan kaum Afro-Afrika yang
menginginkan keadilan di AS hingga, kekerasan dalam penanganan demonstrasi di
Jerman saat forum G-20 menunjukan bagaimana upaya untuk meraih lagi kestabilan
politik meskipun harus membrangus aspirasi dan hak demokratis rakyat.
Di lain sisi,
keadaan tersebut telah meningkatkan perlawanan rakyat di berbagai negeri untuk
menentang penindasan dan penghisapan monopoli kapitalis. Berbagai bentuk
gerakan muncul untuk melawan eksistensi negera-negara penjajah. Seperti gerakan
rakyat melawan perang agresi maupun bentuk gerakan lain, seperti yang terjadi
saat menentang G-20 di Hamburg Jerman, Juli 2017.
Lalu bagaimana
dengan Indonesia. Peran Indonesia di era pemerintahan Jokowi-JK sebetulnya juga
tidak berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Tetap sebagai negara
yang tergantung pada kapital asing. Sebuah hal yang ditunjukan dengan
ketergantungan yang tinggi pada investasi dan hutang untuk pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi. Serta mengandalkan komoditas bahan mentah dalam
perdagangan, sementara kebutuhan dalam negeri di penuhi dengan impor.
Indonesia
memiliki peranan penting di tengah kondisi krisis, dengan sumber daya alam dan
penduduk yang besar, maka kapital finance akan memiliki syarat untuk semakin
kuat mendikte dan mengendalikan ekonomi dan politik. Kapital Finance telah
mendikte berbagai sektor seperti industri dan ketenagakerjaan, hingga melakukan
perampasan tanah untuk kepentingan infrastruktur, properti hingga pertanian,
perkebunan dan pertambangan skala besar. Tentu saja operasi tersebut tidak akan
berjalan sukses jika pelaksana proyek dalam negeri Indonesia sendiri tidak ada.
Peranan pejabat pemerintahan yang korup (kapitalis birokrat) dan konglomerat
penghamba kapital asing (borjuasi komprador) dan tuan tanah berperan sangat
penting.
Itulah kemudian
Jokowi-Jk menetapkan kestabilan politik sebagai upaya menjamin keamanan dan
kenyamanan investasi di Indonesia. Populisme Jokowi-JK terkubur bersama dengan
kebijakan-kebijakan anti demokrasi yang dijalankan selama ini. Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi menjadikan penghidupan rakyat semakin
merosot dari waktu ke waktu. Upah buruh ditekan sangat rendah,
sementara kaum tani dan rakyat pedesaan menghadapi perampasan tanah yang begitu
masif.
Situasi tersebut
direspon dengan semakin meluasnya berbagai gerakan rakyat yang tidak puas
dengan berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai organisasi, serikat dan
perkumpulan terus berdiri. Berbagai Organisasi-organisasi tersebut lahir untuk
memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi mereka, sekaligus alat kolektif untuk
memperjuangkan dan memenangkan tuntutan mereka secara demokratis.
Kondisi ini
lahir dari ketidakpuasan rakyat atas berbagai kebijakan yang menjadikan rakyat
sebagai objek penderita untuk kepentingan-kepentingan asing di Indonesia.
Secara historis, organisasi sejak lama telah di kenal dan digunakan rakyat
untuk memenangkan aspirasi rakyat seperti yang dilakukan oleh rakyat Indonesia
dalam melawan penjajahan kolonialisme Belanda dan Jepang.
Perpu No. 2/2017 menunjukkan Pemerintahan Jokowi-JK adalah
Rejim Fasis yang anti demokrasi dengan memberangus kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat.
Lahirnya Perppu
No 2 tahun 2017 dilatarbelakangi oleh pandangan pemerintah atas kondisi yang
dianggap “kegentingan
yang memaksa” melalui keberadaan berbagai ormas yang
dianggap anti Pancasila, anti UUD 1945 dan membahayakan keberlangsung negara
kesatuan Republik Indonesia.
Perppu ini
sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari UU Ormas 2013 di era pemerintahan
SBY. Dengan salah satu poinnya ialah pembubaran ormas yang tidak lagi harus
menunggu putusan dari pengadilan. Selain itu Perppu ini juga memberikan sanksi
pidana bagi para pelanggarnya, sebuah kondisi yang sebelumnya tidak diatur
dalam UU Ormas 2013. Perppu ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, atas poin
negara menjamin kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat bagi rakyat.
Perppu ini akan
memberikan ruang yang luas bagi kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang dalam
menindak setiap elemen yang dianggap membahayakan kedudukan mereka. Perppu ini
secara fundamental menempatkan pejabat negara dalam posisi yang semakin kuat
atas rakyat. Meskipun tidak ada dasar sama sekali bagi Jokowi-JK menetapkan
negara ini dalam keadaan genting, kecuali ketakutan rejim tersebut atas gerakan
demokratis rakyat, seperti yang dialami oleh Gafatar beberapa waktu lalu dan
HTI saat ini. Ke depan, dengan menggunakan Perppu 02 tahun 2017 pemerintah akan
semakin mudah melakukan pembubaran dan pemberangusan organisasi yang dinilai
anti pancasila, NKRI dan organisasi-organisasi yang menentang kebijakan dan
tidak mendukung pembangunan.
Jika
pemerintahan Jokowi–JK benar adalah pemerintahan demokratis yang menjamin
kebebasan berserikat bagi rakyat, seharusnya Perppu ini tidak perlu lahir.
Cukup dengan memperkuat institusi hukum dan menjamin hukum yang adil. Sehingga
jika ada organisasi massa dianggap tidak sesuai dengan konstitusi negara dan
dianggap membahayakan negara, maka cukup pemerintah untuk membawa bukti-bukti
yang cukup ke pengadilan.
Rakyat yang
terorganisasi dalam berbagai serikat, baik serikat buruh, serikat tani hingga
suku bangsa minoritas dalam keadaan bahaya dengan adanya Perppu ini. Pemerintah
dengan mudah akan memberikan label berbahaya dan harus dibubarkan, terhadap
berbagai organisasi buruh jika dianggap mengganggu investasi dan kestabilan
politik nasional. Kondisi yang sama juga akan dialami oleh serikat tani, pemuda
maupun organisasi suku bangsa minoritas. Pemerintah saat ini juga semakin
mempersempit ruang-ruang aspirasi rakyat seperti dengan pelarangan aksi
diberbagai tempat hingga pembatasan waktu untuk berdemonstrasi.
Usaha gerakan
rakyat mengambil hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
pengorbanan besar di periode 1998 praktis kembali dirampas dengan pemberlakuan
perppu no 2 ini. Rejim Jokowi-JK mengembalikan kembali kehidupan berorganisasi
dan mengeluarkan pendapat seperti halnya era kekuasaan jenderal fasis Soeharto.
Jika di era Soeharto, tuduhan subversi menjadi idiom umum untuk menghancurkan
musuh-musuhnya maka di era Jokowi-JK, tuduhan anti Pancasila atau menghina
pejabat negara sudah cukup untuk membubarkan dan mengkriminalisasi rakyat. [rd]#
Oleh: Rudi HB. Daman, Kordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR) dan Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Materi ini disampaikan dalam Diskusi Publik “Membedah Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 sebagai Ancaman Demokrasi di Indonesia”.
Oleh: Rudi HB. Daman, Kordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR) dan Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Materi ini disampaikan dalam Diskusi Publik “Membedah Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 sebagai Ancaman Demokrasi di Indonesia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar