Kamis, 23 Agustus 2018

Pemberangusan Demokrasi dan Intensifikasi Fasisme Negara di Bawah Rezim Jokowi dengan Penerbitan Perppu No 02 Tahun 2017



Pemberangusan Demokrasi dan Intensifikasi Fasisme Negara di Bawah Rezim Jokowi dengan Penerbitan Perppu No 02 Tahun 2017
I.       Demokrasi dan Fasisme di Indonesia
A.     Demokrasi di Indonesia Sebagai Negeri Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
Jargon yang pernah lahir dari gerakan demokratis di Eropa dan Amerika “Kekuasaan dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat”, “Kebebasan (Liberte), Persamaan (Egalite), Persaudaraan (Fraternite), kini telah hangus terbakar mengikuti perkembangan jaman imperialis yang semakin tua dan sekarat. Celakanya, implementasi jargon sistem demokrasi tersebut hanya terbatas melalui sistem pemilihan umum yang ditunjukkankan semata-mata hanya pelibatan masyarakat luas dalam pemungutan suara. Akan tetapi Demokrasi dalam makna sesungguhnya, yang seharusnya dijalankan untuk menjamin, memenuhi, dan melindungi hak dan kepentingan rakyat, semakin menjauh dari cita-cita rakyat. Demokrasi semakin palsu karena tidak bisa menjawab masalah pokok rakyat, justru sebaliknya; menindas dan memeras rakyat.
Dalam negara borjuasi, sesungguhnya hanya dikenal dua bentuk aturan atau hukum yang diterapkan oleh pemerintah, yakni pertama: Demokrasi borjuasi (liberal) – yang diberlakukan kepada sesama borjuasi sendiri. Kedua: Hukum fasis yang diterapkan pada musuh-musuh klas borjuasi yang berkuasa (setiap kelompok dan golongan yang melawan kebijakan sistem kekuasaannya). Keduanya, baik demokrasi liberal maupun fasis merupakan manifestasi dari kediktatoran klas borjuasi itu sendiri.

Artinya, demokrasi borjuasi bersifat demokratis secara relative. Setiap bentuk pertentangan atau perselisihan antar borjuasi (Ex. Borjuasi yang berkuasa vs Borjuasi lemah di luar kekuasaan) berkaitan dengan kepentingan mereka, dalam penyelesaiannya masih dapat dikompromikan antar mereka. Namun pada saat menghadapi kebangkitan gerakan klas buruh dan rakyat luas yang mengancam kekuasaan mereka, maka mereka segera menampakkan topeng sejatinya, mencampakkan wajah ‘demokratis’ dan dengan berbagai skema menjalankan tindasan fasis terhadap rakyat.
Di era kapitalisme monopoli (imperialisme) yang tengah mengalami kemerosotan strategis, imperialisme dunia berusaha keras mempertahankan sistem kapitalisme dengan mempromosikan demokrasi borjuasi yang kian bangkrut, kebijakan neo-liberal, melegalkan dan menerapkan berbagai peraturan yang membenarkan tindakan terror dan kekerasan terhadap rakyat, melancarkan perang agresi dan intervensi untuk penaklukan dan pembagian atas teritori dunia.
Demikian pula di Negara-negara setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) seperti Indonesia yang terus berada di bawah dominasi Imperialisme tunggal Amerika Serikat, dengan watak yang sangat bergantung pada dikte politik, ekonomi, kebudayaan, militer yang dilancarkan oleh imperialis tunggal Amerika Serikat. Pemerintah Jokowi terus didikte menjalankan program dan kebijakannya dengan berbagai topeng demokrasi palsunya. Kekuasaan negara semakin berwajah kontrol dan teror, baik terhadap rival politiknya dan terlebih terhadap rakyat Indonesia, sebagai jawaban atas krisis ekonomi yang tidak ada jalan keluarnya lagi.
Pemerintah mengambil kebijakan dan membentuk berbagai peraturan dan undang-undang tanpa didasarkan pada kenyataan penghidupan rakyat dan tanpa melibatkan rakyat. Pemerintah bahkan akan lebih agressif dalam menutup ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, termasuk hak berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang seharusnya sebagai manifestasi dari demokrasi itu sendiri. Sebab apapun kebijakan, peraturan dan hukum serta program yang akan dijalankan oleh Pemerintah sudah pasti akan diterima dan dihadapi oleh rakyat
B.     Fasisme di Indonesia Sebagai Konsekwensi di Negara SJSF Dibawah Pemerintahan Boneka Imperialisme AS
Dalam pengertiannya, Teori borjuasi memandang masalah fasisme dari pendirian dan pandangan klas-nya dan menempatkannya sebagai isu “inter-klas” atau sesama borjuasi semata. Artinya bahwa hanya memandang pada perilaku borjuasi yang berkuasa terhadap borjuasi di luar kekuasaannya. Bagi teoritisi borjuasi, ukuran fasis adalah ketika kelompok borjuasi dari klas yang berkuasa melarang partai/kekuatan borjuasi lainnya, memberangus kebebasan dan dicabutnya hak-hak demokratis individual borjuasi dalam mengekspresikan pendapat yang berlawanan dengan pemerintahan dan partai/kekuatan borjuasi fasis yang berkuasa.
Karenanya, sistem demokrasi borjuasi apakah ‘demokratis’ atau fasis tidak bisa diukur dengan hanya adanya “pemilu bebas” dan penerapan demokrasi borjuasi secara relatif. Konsepsi teori borjuasi tentang fasism sebagai isu “inter-klas” borjuasi semata adalah pandangan yang berat sebelah dan sempit.
Namun berbeda bagi rakyat dalam memandang Fasisme. Rakyat tertindas memaknai fasisme sebagai ekspresi kediktatoran negara dibawah kontrol klas yang berkuasa dan menindas klas yang lainnya melalui tindakan teror terbuka, khususnya menyerang secara langsung gerakan gerakan rakyat yang secara konsisten melakukan kritik, protes dan perlawanan atas berbagai kebijakan anti rakyat yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Dalam kerangka praktis, mengukur derajat fasisme suatu rezim (apakah silence/terselubung atau fasis secara penuh/terbuka) ditentukan dari tindakan politik yang diterapkan terhadap rakyat. Baik tindakan politik secara umum maupun klas/golongan rakyat secara khusus, menciptakan berbagai instrumen peraturan/hukum yang melegitimasi tindakan militer fasis, penguatan formasi kekuatan fasis melalui polisi/militer dan paramiliter yang digunakan untuk melawan aspirasi dan gerakan rakyat.
Fasisme Terselubung (Silence Fascism) adalah situasi yang pada hakekatnya fasis dimana negara menghadapi situasi ‘relatif damai’, namun seluruh kekuatan negara (kabir, aparat polisi, militer, paramiliter, dan mesin propagandanya), terus bekerja aktif menebar dan menjaga ketakutan rakyat, mengintimidasi dan terus mempromosikan demokrasi palsu disisi lain.  
Fasisme terbuka adalah tindakan teror terbuka dengan melakukan tindasan polisional, militer, paramiliter secara langsung dengan tindakan kekerasan, pembubaran paksa, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan terhadap gerakan rakyat.
Akar kelahiran fasisme adalah krisis dalam sistem kapitalisme di jaman imperialism yang semakin sekarat dan barbar mempertahankan sistem kapitalisme dunia dan menimpakan beban krisis sistem kapitalisme di pundak klas buruh dan rakyat melalui jalan kediktatoran militer fasis. Mereka menggunakan kekecewaan massa rakyat terhadap kebangkrutan sistem kapitalisme dengan kedok “penyelamatan nasional”, “mengatasnamakan seluruh bangsa” dan menjalakan sistem fasisme.  
Fasisme adalah kediktatoran teror terbuka dari kapital finans yang paling jahat, paling sovinistik dan paling imperialis. Sementara bagi negeri jajahan dan setengah jajahan, mereka memaksakan tindasan teror fasis melalui pemerintah boneka yang dipaksa tunduk-patuh melayani kepentingan imperialis dan klik klas-klas reaksi domestik (borjuasi komprador, tuan tanah, kabir) untuk menindas rakyat.
Apa yang dimaksud dengan kediktatoran teror terbuka dari kapital finans yang paling jahat, paling sovinis dan imperialis? Paling jahat adalah sebagai kekuatan yang paling kontra-terhadap gerakan rakyat dan paling anti klas buruh dan rakyat yang membawa aspirasi sejati untuk perubahan dan kedaulatan suatu negeri. Sedangkan yang dimaksud paling sovinis dan paling imperialis adalah tindakan brutal berkedok kepentingan nasional  melalui perang agresi dan intervensi militer terhadap bangsa lain yang berdaulat maupun menyerang gerakan demokratis rakyat dan penaklukan atas bangsa lain.

C.     Sejarah Fasisme di Indonesia
Di Indonesia, tindasan fasis negara terhadap rakyat telah mengalami sejarah dan perkembangan yang panjang dan terus buruk.
C.1. Indonesia dibawah fasisme Jepang (1942-1945)
Penindasan kejam secara politik dan penghisapan ekonomi (romusha atau kerja paksa) untuk memenuhi sumber logistik dan mobilisasi rakyat menjadi tentara perang fasis Jepang. Fasis Jepang secara khusus menindas gerakan revolusioner dan pembebasan nasional sebagai musuh fasis yang paling berbahaya dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan besar-besaran.
C.2. Indonesia dibawah fasisme Soeharto (1965-1998)
Melakukan penindasan fasis paling brutal yang pernah ada dalam sejarah Indonesia modern yang menelan korban jutaan rakyat Indonesia. Pemerintahan Soeharto membentuk KIN kemudian berganti BAKIN, Kopkamtib berwenang melakukan opsus (operasi khusus) di daerah konflik, menetapkan DOM (daerah operasi militer), opsus penculikan 23 aktifis pro-dem era 97/98-an, dan lain sebagainya.
C.3. Indonesia pacsa Soeharto dibawah rezim BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, Jokowi  
Pemerintahan BJ Habibie membentuk SGI (Satuan Gabungan Intelejen) Satuan Gabungan Intelijen (SGI) biasanya diturunkan di wilayah-wilayah yang dikategorikan wilayah konflik, dimana operasi militer bisa diterapkan. Merujuk pada penanganan konflik Aceh (melalui DOM Aceh), konflik Papua (DOM Papua), konflik Ambon, konflik Poso dan masa referendum Timor Timur 1999. Meski satuan ini dirancang untuk lintas institusi keamanan, namun satuan ini didominasi oleh TNI, khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus).  
Secara esensi, seluruh pemerintah pasca Soeharto hingga SBY dan Jokowi saat ini, tidak mengubah secara mendasar seluruh warisan politik fasis Soeharto seperti Tap MPR No 25/1966, termasuk aspek militer tidak membubarkan komando teritorial  dan terus memperkuat instrumen dan kekuatan fasistis dengan mengeluarkan berbagai regulasi.
Pasca peristiwa 9/11/2001, AS memaksakan kepada seluruh pemerinta boneka dengan bantuan yang mengikat dan bersyarat untuk mendukung kampanye AS anti-teror: Bantuan keuangan, pelatihan militer, bantuan senjata, pembentukan satuan anti-teroris, dsb seperti yang tertuang dalam perjanjian bilateral AS-Indonesia dibawah pemerintah Megawati Soekarno Putri yang mendukung kampanye global AS melawan terorisme. 
Saat ini, kenyataan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, khususnya aspek keamanan dan pelibatan aparat keamanan (TNI, POLRI dan Sipil) yang terus meningkat. Dalam mengamankan program dan berbagai asset negara, menetapkan OVNI, menghadapi aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan rakyat dalam mempertahankan dan menuntut pemenuhan haknya, terus dihadapkan dengan represifitas aparat keamanan.
Hal ini, nyata dialami oleh jutaan rakyat, klas buruh, kaum tani, kaum miskin kota, pemuda-mahasiswa, kaum perempuan yang konsisten melakukan aksi-aksi protes hingga pemogokan dalam menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Kaum tani, suku bangsa minoritas, nelayan,  juga mengalami hal yang semakin buruk, dirampas tanahnya untuk proyek infrastruktur melayani industri milik imperialis (jalan tol, kawasan industry, modernisasi pelabuhan, waduk, PLTA, PLTU, dsb) untuk melancarkan perampasan super-proft, proyek berkedok konservasi seperti taman nasional, hutan lindung, hutan produksi, dsb, dan perampasan produk lebih kaum tani. Kaum miskin kota dirampas tanahnya untuk berbagai proyek reklamasi, infrastruktur, pengembangan mall, property, dsb. Demikian pula oleh pemuda, perempuan, kaum miskin perkotaan, serta sektor dan golongan rakyat tertindas lainnya. Mereka selalu dihadapkan dengan berbagai bentuk intimidasi dan terror, tindak kekerasan dan kriminalisasi ketika memperjuangkan haknya.
Hal lainnya, upaya pemerintah untuk mengamankan kekuasaan dan mempermulus kebijakan anti rakyatnya, ditunjukkan dengan peningkatan anggaran militer dan kepolisian di saat pada waktu bersamaan pemerintah justeru agressif menaikkan pajak dan pemotongan subsidi public. Indonesia sejak tahun 2006 -2016 mengalami kenaikan anggaran belanja militer dan keamanan sebesar 150 persen. Kenaikan jumlah anggaran tersebut menjadikan Indonesia masuk dalam 20 besar dunia dalam kenaikan jumlah anggaran militer. Tahun 2015, Indonesia juga masuk dalam 8 besar importir persenjataan militer dunia. Meningkatnya ketegangan dunia dan perang melawan terror telah dijadikan dalih oleh pemrintah untuk menaikkan anggaran militer dan persenjataan.
Dalam aspek regulasi, pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi fasis yang terus mengorbankan rakyat, seprti: UU PKS, UU Kamnas, Melegitimasi campur tangan militer dalam penindas  perjuangan klas (konflik sosial, perlawanan bersenjata, dsb). UU Intelejen – kewenangan BIN dan Intelejen militer untuk menangkap dan memeriksa yang melanggar ketentuan hukum dimana kewenangan penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum polisi, jaksa dan aparat lainnya yang diatur KUHP. UU Ormas – Memperkuat mekanisme kontrol  atas hak-hak demokrasi rakyat.
Seluruhnya, berfungsi sebagai kontrol politik terhadap rakyat dan melegitimasi tindasan fasis dari aparat polisi-militer dan atau instansi pemerintah terkait lainnya. Kebijakan inilah yang kemudian saat ini dan kedepannya akan semakin buruk mengancam demokrasi, kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyat melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 saat ini.
 
II.    Perppu No. 2 Tahun 2017  adalah Wujud Nyata Tindasan Fasis Pemerintah Jokowi: Pembungkaman Demokrasi, Pemberangusan Organiasi dan Kebebasan Berpendapat bagi Rakyat 
Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU Ormas tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 10 Juli lalu, merupakan ancaman nyata bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama hak rakyat untuk berorganisasi dan berpendapat.
Kelahiran Perppu ini menjelaskan arah dan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK untuk memastikan kestabilan politik dengan pendekatan keamanan di tengah keadaan krisis, baik itu krisis di level internasional maupun dalam negeri. Dunia internasional saat ini masih dalam keadaan yang tidak menentu, akibat krisis terutama ledakan krisis properti tahun 2008 di AS yang dampaknya harus ditanggung oleh rakyat di berbagai negeri. Berbagai lembaga keuangan raksasa gulung tikar, meskipun telah menipu dan merampas uang milik rakyat dalam berbagai skema.
Keadaan tersebut kemudian justru membuat berbagai negeri besar seperti AS, Uni Eropa, Jepang, Rusia hingga Tiongkok untuk semakin ekspansif  terutama untuk menanamkan kapital mereka ke berbagai negeri jajahan, tergantung maupun setengah jajahan. Mereka tidak ingin akumulasi super kapital mereka mandeg. Melalui negara secara bilateral maupun berbagai lembaga keuangan dan pembiayaan pembangunan seperti WB, IMF, ADB hingga AIIB dan berbagai lembaga operator kapital finance milik TNC/MNC untuk mendanai perbagai proyek hutang, investasi dan pembangunan di berbagai negeri. Jika cara ini mentok, maka jalan lainnya adalah kriminalisasi dan isolasi sebuah negeri yang kemudian berujung perang agresi.
Saat ini di bawah pemerintahan Donald Trump, imperialis AS dan sekutunya semakin agresif melakukan berbagai manuver hingga provokasi keamanan diberbagai kawasan. Perebutan pasar, tenaga kerja hingga bahan mentah tetap menjadi dasar utama. Kapital finance membuat keadaan tersebut semakin cepat, kejam dan rakus. Perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam, megaproyek infrastruktur hingga perampas hak-hak pekerja semakin masif di mana-mana.
Berbagai upaya untuk membatasi aspirasi demokratis rakyat untuk keluar dari tindasan dan penghisapan juga dilakukan oleh berbagai negara. Pemerintah berbagai negeri semakin tidak barbar dan anti demokrasi
Mulai dari Kampanye “Perang Agresi dan Intervensi melawan Terorisme global” pimpinan AS dan diadopsi oleh berbagai negeri telah menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan siapapun yang dianggap melawan dan membahayakan kepentingan kapitalis finans mereka, sebuah kebijakan yang tidak hanya menindas  umat Islam namun juga menghancur kebebasan rakyat dan kedaulatan bangsa. Kemudian kebijakan anti migran AS yang di keluarkan oleh Trump, Kekerasan dalam memberangus gerakan kaum Afro-Afrika yang menginginkan keadilan di AS hingga, kekerasan dalam penanganan demonstrasi di Jerman saat forum G-20 menunjukan bagaimana upaya untuk meraih lagi kestabilan politik meskipun harus membrangus aspirasi dan hak demokratis rakyat.
Di lain sisi, keadaan tersebut telah meningkatkan perlawanan rakyat di berbagai negeri untuk menentang penindasan dan penghisapan monopoli kapitalis. Berbagai bentuk gerakan muncul untuk melawan eksistensi negera-negara penjajah. Seperti gerakan rakyat melawan perang agresi maupun bentuk gerakan lain, seperti yang terjadi saat menentang G-20 di Hamburg Jerman, Juli 2017.
Lalu bagaimana dengan Indonesia. Peran Indonesia di era pemerintahan Jokowi-JK sebetulnya juga tidak berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Tetap sebagai negara yang tergantung pada kapital asing. Sebuah hal yang ditunjukan dengan ketergantungan yang tinggi pada investasi dan hutang untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Serta mengandalkan komoditas bahan mentah dalam perdagangan, sementara kebutuhan dalam negeri di penuhi dengan impor.
Indonesia memiliki peranan penting di tengah kondisi krisis, dengan sumber daya alam dan penduduk yang besar, maka kapital finance akan memiliki syarat untuk semakin kuat mendikte dan mengendalikan ekonomi dan politik. Kapital Finance telah mendikte berbagai sektor seperti industri dan ketenagakerjaan, hingga melakukan perampasan tanah untuk kepentingan infrastruktur, properti hingga pertanian, perkebunan dan pertambangan skala besar. Tentu saja operasi tersebut tidak akan berjalan sukses jika pelaksana proyek dalam negeri Indonesia sendiri tidak ada. Peranan pejabat pemerintahan yang korup (kapitalis birokrat) dan konglomerat penghamba kapital asing (borjuasi komprador) dan tuan tanah berperan sangat penting.
Itulah kemudian Jokowi-Jk menetapkan kestabilan politik sebagai upaya menjamin keamanan dan kenyamanan investasi di Indonesia. Populisme Jokowi-JK terkubur bersama dengan kebijakan-kebijakan anti demokrasi yang dijalankan selama ini. Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi menjadikan penghidupan rakyat semakin merosot dari waktu ke waktu. Upah buruh ditekan sangat rendah, sementara kaum tani dan rakyat pedesaan menghadapi perampasan tanah yang begitu masif.
Situasi tersebut direspon dengan semakin meluasnya berbagai gerakan rakyat yang tidak puas dengan berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai organisasi, serikat dan perkumpulan terus berdiri. Berbagai Organisasi-organisasi tersebut lahir untuk memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi mereka, sekaligus alat kolektif untuk memperjuangkan dan memenangkan tuntutan mereka secara demokratis.
Kondisi ini lahir dari ketidakpuasan rakyat atas berbagai kebijakan yang menjadikan rakyat sebagai objek penderita untuk kepentingan-kepentingan asing di Indonesia. Secara historis, organisasi sejak lama telah di kenal dan digunakan rakyat untuk memenangkan aspirasi rakyat seperti yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan kolonialisme Belanda dan Jepang.

Perpu No. 2/2017 menunjukkan Pemerintahan Jokowi-JK adalah Rejim Fasis yang anti demokrasi dengan memberangus kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Lahirnya Perppu No 2 tahun 2017 dilatarbelakangi oleh pandangan pemerintah atas kondisi yang dianggap “kegentingan yang memaksa melalui keberadaan berbagai ormas yang dianggap anti Pancasila, anti UUD 1945 dan membahayakan keberlangsung negara kesatuan Republik Indonesia.
Perppu ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari UU Ormas 2013 di era pemerintahan SBY. Dengan salah satu poinnya ialah pembubaran ormas yang tidak lagi harus menunggu putusan dari pengadilan. Selain itu Perppu ini juga memberikan sanksi pidana bagi para pelanggarnya, sebuah kondisi yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Ormas 2013. Perppu ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, atas poin negara menjamin kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat bagi rakyat.
Perppu ini akan memberikan ruang yang luas bagi kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang dalam menindak setiap elemen yang dianggap membahayakan kedudukan mereka. Perppu ini secara fundamental menempatkan pejabat negara dalam posisi yang semakin kuat atas rakyat. Meskipun tidak ada dasar sama sekali bagi Jokowi-JK menetapkan negara ini dalam keadaan genting, kecuali ketakutan rejim tersebut atas gerakan demokratis rakyat, seperti yang dialami oleh Gafatar beberapa waktu lalu dan HTI saat ini. Ke depan, dengan menggunakan Perppu 02 tahun 2017 pemerintah akan semakin mudah melakukan pembubaran dan pemberangusan organisasi yang dinilai anti pancasila, NKRI dan organisasi-organisasi yang menentang kebijakan dan tidak mendukung pembangunan.
Jika pemerintahan Jokowi–JK benar adalah pemerintahan demokratis yang menjamin kebebasan berserikat bagi rakyat, seharusnya Perppu ini tidak perlu lahir. Cukup dengan memperkuat institusi hukum dan menjamin hukum yang adil. Sehingga jika ada organisasi massa dianggap tidak sesuai dengan konstitusi negara dan dianggap membahayakan negara, maka cukup pemerintah untuk membawa bukti-bukti yang cukup ke pengadilan.
Rakyat yang terorganisasi dalam berbagai serikat, baik serikat buruh, serikat tani hingga suku bangsa minoritas dalam keadaan bahaya dengan adanya Perppu ini. Pemerintah dengan mudah akan memberikan label berbahaya dan harus dibubarkan, terhadap berbagai organisasi buruh jika dianggap mengganggu investasi dan kestabilan politik nasional. Kondisi yang sama juga akan dialami oleh serikat tani, pemuda maupun organisasi suku bangsa minoritas. Pemerintah saat ini juga semakin mempersempit ruang-ruang aspirasi rakyat seperti dengan pelarangan aksi diberbagai tempat hingga pembatasan waktu untuk berdemonstrasi.
Usaha gerakan rakyat mengambil hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui pengorbanan besar di periode 1998 praktis kembali dirampas dengan pemberlakuan perppu no 2 ini. Rejim Jokowi-JK mengembalikan kembali kehidupan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat seperti halnya era kekuasaan jenderal fasis Soeharto. Jika di era Soeharto, tuduhan subversi menjadi idiom umum untuk menghancurkan musuh-musuhnya maka di era Jokowi-JK, tuduhan anti Pancasila atau menghina pejabat negara sudah cukup untuk membubarkan dan mengkriminalisasi rakyat. [rd]#


Oleh: Rudi HB. DamanKordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR) dan Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)

Materi ini disampaikan dalam  Diskusi Publik “Membedah Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 sebagai Ancaman Demokrasi di Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar