Potret
Umum Kondisi dan Syarat Kerja dalam Hubungan Industrial di Indonesia dan Peranan
Buruh dalam Mewujudkan Hubungan Industrial yang Berkeadilan
Oleh : Rudi
HB Daman. S.H
Ketua Umum
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
Di sampaikan dalam Diskusi Publik DPC GSBI Kabupaten Jombang pada Minggu 26 Maret 2017 dengan Tema: “Wujudkan Kondisi dan Syarat – Syarat Kerja Sesuai dengan Undang – Undang
yang Berlaku Agar Terciptanya Hubungan
Industrial yang Berkeadilan”.
Indikasi memburuknya sistem perburuhan global
terlihat dari tren porsi pendapatan buruh terhadap total output yang terus
mengalami penurunan. Hal ini terkonfirmasi dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Karabarbounis dan Neiman. Dari penelitian Karabournis dan Neiman (2014)
tersebut, ditemukan porsi pendapatan buruh di Amerika Serikat, Jerman, Jepang,
dan Cina telah berkurang dalam 15 tahun terakhir. Karabournis dan Neiman (2014) juga menemukan
bahwa porsi pendapatan buruh pada hampir semua negara yang dijadikan sampel
penelitian mengalami penurunan. Menariknya, 42 negara dari 59 negara yang
menjadi sampel penelitian, porsi
pendapatan buruh dinyatakan mengalami penurunan setiap 10 tahun sekali
(Karabournis & Neiman, 2014).
Pola dan kecenderungan yang sama juga ditunjukkan
dalam publikasi rutin ILO pada 2015 yang bertajuk “Global Wage Report 2014/2015: Wages and Income Inequality”.
Menurut laporan tersebut, sejak 1980-an porsi pendapatan buruh telah menyusut
bahkan ketika tingkat pertumbuhan rata-rata upah mengalami kenaikan. Situasi
ini ditengarai dipicu oleh tekanan pada pasar keuangan untuk menghasilkan imbal
hasil modal yang lebih tinggi, globalisasi perdagangan bebas, perubahan
teknologi, dan melemahnya daya tawar dari lembaga pasar tenaga kerja (ILO,
2015). Penjelasan lainnya, tingkat produktivitas buruh ternyata mengalami
peningkatan yang lebih cepat hingga melampaui kenaikan upah rata-rata (ILO,
2015).
Hal
serupa juga dialami para buruh Indonesia. Di Indonesia, sejak 2000, pengeluaran
korporasi untuk tenaga kerja di industri besar dan sedang cenderung stagnan
karena tidak pernah menembus angka 30 persen (lihat tabel 1). Padahal, tingkat
keuntungan perusahaan di industri ini secara agregat belum pernah mengalami
penurunan atau terus meningkat sejak 2000. Bahkan, ditengah terpaan krisis
keuangan global, kinerja industri besar dan sedang tetap memperlihatkan kinerja
positif kendati dengan tingkat pertumbuhan yang melambat. Rekor tertinggi
tercatat pada 2009 yang mencapai 26 persen dari nilai keuntungan bersih
perusahaan meski pada saat itu perekonomian global sedang mengalami pelambatan.
Setelah 2009, pengeluaran untuk tenaga kerja terus menurun dan tidak pernah
lagi menyentuh angka 26 persen.
Tabel 1.
Rasio Labor Cost terhadap Keuntungan
Korporasi
di Industri Besar dan Sedang
Tahun
|
Nilai
Tambah (Bersih)
|
Pengeluaran
untuk Tenaga Kerja
(Labor
Cost)
|
Keuntungan
(Bersih)
|
Rasio
Labor Cost terhadap Keuntungan (Persen)
|
|
2000
|
225,342
|
36,451
|
188,891
|
19.297
|
|
2001
|
253,331
|
52,677
|
200,654
|
26.253
|
|
2002
|
286,723
|
46,392
|
240,331
|
19.303
|
|
2003
|
303,359
|
60,534
|
242,825
|
24.929
|
|
2004
|
332,322
|
53,044
|
279,278
|
18.993
|
|
2005
|
366,367
|
58,099
|
308,268
|
18.847
|
|
2006
|
484,569
|
74,000
|
410,569
|
18.024
|
|
2007
|
562,917
|
70,367
|
492,550
|
14.286
|
|
2008
|
682,853
|
80,754
|
602,099
|
13.412
|
|
2009
|
763,336
|
160,716
|
602,620
|
26.670
|
|
2010
|
855,352
|
90,288
|
765,064
|
11.801
|
|
2011
|
966,372
|
141,121
|
825,251
|
17.100
|
|
2012
|
1,103,690
|
132,905
|
970,785
|
13.690
|
|
2013
|
1,426,525
|
154,539
|
1,271,986
|
12.149
|
|
2014
|
1,313,940
|
225,649
|
1,088,291
|
20.734
|
Sumber: Data diolah, BPS (2015)
Karena
itu, rasanya tidak berlebihan jika fakta di atas ditengarai menjadi salah satu
pemicu tingginya tingkat ketimpangan kekayaan di
Indonesia. Menurut Global Wealth Report (2014), Indonesia memiliki skor tingkat
ketimpangan sebesar 77,2. Angka tersebut mengindikasikan bahwa tingkat
ketimpangan di Indonesia lebih buruk dibandingkan Amerika Serikat (74,6),
Singapura (59,6), atau Inggris (54,1). Tidaklah mengherankan jika Indonesia
dimasukkan sebagai salah satu negara dengan tingkat ketimpangan kekayaan yang
sangat tinggi bersama dengan Hongkong, Swiss, dan Amerika Serikat. Menariknya
lagi, hampir semua negara yang menjadi pemain penting di kawasan Asia Pasifik
seperti India, Malaysia, Thailand, dan Filipina, tercatat juga memiliki tingkat
ketimpangan yang sangat tinggi (lihat tabel 2).
Tabel
2. Tingkat Ketimpangan Kekayaan Global
Kategori
|
Negara Maju
|
Negara Berkembang
Pesat
|
|||
Ketimpangan sangat tinggi
|
Hongkong
|
Argentina
|
Peru
|
||
(Top decile share > 70%)
|
Swiss
|
Brasil
|
Filipina
|
||
Amerika Serikat
|
Mesir
|
Rusia
|
|||
India
|
Afrika Selatan
|
||||
Indonesia
|
Thailand
|
||||
Malaysia
|
Turki
|
||||
Ketimpangan tinggi
|
Austria
|
Israel
|
Chili
|
Meksiko
|
|
(Top decile share > 60%)
|
Denmark
|
Norwegia
|
Cina
|
Polandia
|
|
Jerman
|
Swedia
|
Kolumbia
|
Arab Saudi
|
||
Ceko
|
Taiwan
|
||||
Korea Selatan
|
|||||
Ketimpangan sedang
|
Australia
|
Belanda
|
Uni Emirat Arab
|
||
(Top decile share > 50%)
|
Canada
|
Selandia Baru
|
|||
Finlandia
|
Portugal
|
||||
Perancis
|
Singapura
|
||||
Yunani
|
Spanyol
|
||||
Irlandia
|
Inggris
|
||||
Italia
|
|||||
Ketimpangan rendah
|
Belgia
|
||||
(Top decile share < 50%)
|
Jepang
|
Sumber:
Global Wealth Report 2014, Credit Suisse (2015)
Ironisnya,
pada saat yang bersamaan, posisi daya tawar buruh Indonesia dalam negoisasi
upah yang layak dan adil mengalami erosi. Data ketenagakerjaan ILO (2015)
menunjukkan bahwa tingkat kepadatan serikat pekerja (trade union density rate)
Indonesia dari tahun ke tahun terus berkurang. Data ILO (2015) mencatat
bahwa pada 2009 tingkat kepadatan serikat pekerja hanya sebesar 8,5 persen.
Jika dibandingkan dengan 2001, angka tersebut jelas mengindikasikan bahwa
posisi tawar buruh Indonesia kian terjepit. Alasannya, pada 2001, tingkat
kepadatan serikat pekerja di Indonesia masih sekitar 36,4 persen. Artinya,
jumlah serikat pekerja yang menyuarakan kepentingan pekerja telah berkurang
secara drastis.
Dengan
demikian, tidaklah mengherankan jika konflik perburuhan tergolong cukup tinggi.
Temuan riset yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta (2014: vi), konflik atau masalah perburuhan yang seringkali mengemuka
di Indonesia berdasarkan indeksasi atas putusan-putusan Mahkamah Agung dalam
lingkup hubungan industrial berkaitan dengan tujuh hal berikut: (i) tentang perjanjian
kerja waktu tertentu – perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
(ii) tentang mogok tidak sah; (iii) tentang upah yang diberikan kepada pekerja saat menjalankan proses pemutusan
hubungan kerja (upah proses); (iv) pemutusan
hubungan kerja dengan alasan efisiensi; (v) tentang pemutusan hubungan kerja karena alasan kesalahan berat;
(vi) tentang perlindungan terhadap hak perempuan; dan
(vii) hak berserikat dan dugaan pemberangusan serikat
buruh/serikat pekerja (union busting).
Fakta ini sejalan dengan apa yang menjadi tuntutan buruh
selama beberapa tahun belakangan. Setidaknya selama tiga tahun terakhir,
ketidakpuasan buruh yang dipotret media dari tahun ke tahun sedikit banyak
memiliki kesamaan. Sebut saja misalnya, persoalan terkait upah selalu masuk
dalam daftar tuntutan buruh pada May Day sejak tahun 2013-2015 lalu. Masalah
upah yang dinilai terlalu murah bagi buruh serta persoalan penangguhan upah yang dilakukan oleh pihak
perusahaan menjadi dua dari 10 tuntutan buruh pada May Day 2013 (Permana,
2014). Persoalan serupa juga masih diteriakkan pada May Day 2014 sebagaimana
dikutip oleh Kompas.com (Auliani, 2014) dan terus diperjuangkan hingga May Day
2015 silam (Ariyanti, 2015).
Tuntutan buruh di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke
tahun buruh mengalami ketidakpuasan dan merasa kecukupan serta
kesejahteraannya belum maksimal terpenuhi. Hal ini tentu
saja bertolak belakang dengan besarnya nilai kapitalisasi perbankan yang dari
tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Laporan Statistik
Perbankan Indonesia 2015 mencatat dari tahun ke tahun, kegiatan penyaluran dana
khususnya dari bank umum terus mengalami peningkatan yang signifikan. Setidaknya penyaluran dana bank umum meningkat 2% dari total keseluruhan
dana yang salurkan pada tahun 2013 dan 27% dari nilai yang tersalurkan pada
tahun 2011 (OJK, 2015: 2).
Demikian
halnya data yang dirilis Bank Indonesia (BI) terkait posisi pinjaman investasi
yang disalurkan oleh Bank Asing dan Campuran untuk industri pengolahan
mengalami kenaikan. Dari 11,746 miliar pada 2008 meningkat menjadi 38,338
miliar pada Mei 2014. Peningkatan ini menggambarkan peranan bank untuk
menyalurkan kredit kepada industri cukup signifikan. Terutama bagi industri
yang produksinya berorientasi ekspor, tentu hal ini akan lebih memberikan
jaminan terhadap akumulasi keuntungan atas investasi yang ditanamkan.
Berikut ini adalah gambaran dari kondisi kongkret yang
dialami oleh buruh secara umum di Indonesia:
1)
Minimnya Jaminan Atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Dari data yang dirilis BPJS, pada periode Januari-April 2014 tercatat 8.900
kasus kecelakaan kerja. Sedangkan total selama tahun 2014 angkanya mencapai
54,564 kasus kecelakaan kerja. Sebanyak 69,59% kecelakaan terjadi didalam
perusahaan saat buruh bertugas, 10,26 persen diluar perusahaan, dan sekitar
20,15% pekerja mengalami kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan kerja terakhir yang
terjadi adalah kebakaran PT. Mandom Indonesia di Cikarang, Bekasi yang
menewaskan 25 orang buruh pada 2015.
Data diatas menunjukkan bahwa keselamatan kerja terhadap buruh masih belum
menjadi perhatian bagi manajemen perusahaan. Penyediaan sarana kesehatan dan keselamatan kerja secara umum masih sangat minim. Sebagai contoh, untuk
kebutuhan masker dan sarung tangan, meskipun perusahaan menyediakan sarana ini
namun masih dengan kualitas rendah, yang sesungguhnya tidak memberikan pengaruh
untuk melindungi kesehatan buruh. Temuan lainnya, untuk beberapa sarana lain
buruh harus mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli sarana tersebut.
Tidak seluruh bagian dalam proses produksi menyediakan perlengkapan P3K.
Jika pun ada, maka ketersediaan obat-obatan tidak memadai dan tidak mencukupi
kebutuhan. Mekanisme berobat yang diterapkan ketika buruh sakit saat bekerja
sangat buruk. Hal ini membuat buruh enggan berobat. Dalam kasus tersebut,
apabila buruh mendadak sakit ketika bekerja, buruh diharuskan mendaftar ke
bagian administrasi untuk mendapatkan nomor antrian. Jika nomor antrian masih
panjang, buruh tidak diperkenankan menunggu di klinik melainkan harus tetap
bekerja hingga nomor antrian tiba.
2)
Menurunnya Nilai Riil Upah Buruh
Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) adalah sistem pengupahan yang
diberlakukan di Indonesia. Setiap Kota/Kabupaten di Indonesia memiliki angka
upah yang berbeda-beda, dimana dasar penetapannya berasal dari usulan Dewan
Pengupahan dan disahkan oleh Gubernur. Ketika tahun 2013 upah buruh di
Jabodetabek mengalami kenaikan mencapai angka 40%, hal ini memicu protes dari
kalangan pengusaha dan mendesak agar pemerintah mempunyai formulasi baru dalam
sistem pengupahan yang dianggap bisa menguntungkan pihak buruh dan pengusaha.
Hasilnya, ditahun yang sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan
Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan
Pekerja. Sebagai implementasi, kemudian dikeluarkan Permenakertrans No. 7 tahun
2013 tentang Upah Minimum. Dua aturan kebijakan ini digunakan untuk mengatur
agar besaran kenaikan upah minimum bagi buruh tetap berada dalam prosentase
yang wajar, sesuai dengan kondisi perekonomian yang terjadi.
Dua tahun terakhir, ketika kebijakan ini diberlakukan terlihat memberikan
dampak atas kenaikan upah minimum buruh. Selama dua tahun berturut-turut (2014
dan 2015), kenaikan upah buruh secara nasional hanya naik sebesar 11,8% dan
12,77%. Di era Presiden Joko Widodo, formulasi tentang upah kembali diperbarui
melalui Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan diberlakukan
untuk pengupahan tahun 2016. Secara nasional, angka kenaikan upah buruh tahun
ini (2016) adalah 11,5 persen dan hanya 8,25 persen untuk tahun 2017.
Meskipun upah mengalami kenaikan, namun karena harga bahan kebutuhan pokok
juga selalu naik, maka kenaikan upah bagi buruh menjadi tidak lagi signifikan.
Jika diperbandingkan, pada tahun 1990-an, seluruh upah buruh dalam sebulan
dapat membeli sekitar 350 kg beras, tetapi pada 2013, upah buruh di Jakarta
yang besarnya 2,2 juta rupiah hanya mampu membeli 200 kg beras (BBC Indonesia, 29 Oktober 2013). Ini
berarti bahwa dalam 15 tahun nilai riil upah minimum turun hampir 50%.
3)
Hilangnya Jaminan Atas Pekerjaan
Bagi buruh, jaminan atas pekerjaan adalah topangan satu-satunya untuk
mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Hanya dengan bekerja menjual
tenaganya buruh menerima upah. Masalahnya, industri di Indonesia sejauh ini
belum sanggup untuk menampung seluruh angkatan kerja yang tersedia. Tahun 2013,
dari data BPS jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 103,97 juta jiwa
dengan jumlah pengangguran sebesar 7,17 juta, dengan pertumbuhan angkatan kerja
per tahun mencapai 2,5 juta.
Jumlah tenaga kerja yang melimpah tanpa diimbangi dengan ketersediaan
lapangan kerja adalah masalah serius. Bagi mereka yang sekarang bekerja, harus
menerima resiko PHK sewaktu-waktu dan tempatnya akan digantikan oleh tenaga
kerja lainnya yang saat ini menganggur. Situasi demikian lahir karena kebijakan
pemerintah dalam menerapkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, dimana tidak ada
jaminan yang kuat bagi buruh untuk mempertahankan pekerjaannya.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai payung
hukum perburuhan di Indonesia seharusnya memberikan garansi atas hal ini. Namun
sebaliknya, UU 13/2003 masih membuka peluang yang besar, memberikan kemudahan
kepada pengusaha untuk mengganti buruh sesuai dengan keinginannya. Masih
dipertahankannya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan penggunaan tenaga
alih daya (outsourcing) menjadi
indikasi yang terang bagaimana fleksibilitas pasar tenaga kerja dipertahankan
di Indonesia. Dengan mempertahankan sistem buruh kontrak dan outsourcing, pengusaha mendapatkan
kemudahan dalam membiayai produksi dibandingkan jika harus menggunakan buruh
dengan status tetap.
Sebagai contoh; PT. Jabagarmindo di Tangerang Banten, sejak sebelum
dipailitkan pada tahun 2015 telah melakukan pengurangan terhadap buruh yang
berstatus kontrak. Sejak tahun 2013, PT. Jabagarmindo terus melakukan
pengurangan terhadap jumlah pekerjanya secara bertahap, khususnya buruh yang
berstatus kontrak. Dari total jumlah buruh 6,000 hanya tersisa 1,600 orang pada
tahun 2015.
Hal yang sama terjadi di PT. Panarub Industri. Praktek PHK terhadap buruh
dilakukan dengan cara menghembuskan isu efisisensi buruh sebagai akibat
menurunnya order. Perusahaan menawarkan kepada buruh yang mau mengundurkan diri
dan perusahaan memberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan perundangan.
Terang hal ini adalah pelanggaran. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah
memutuskan perkara pasal 164 ayat 3 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mengatur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam putusannya,
MK menyatakan PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup secara permanen
dan sebelumnya telah dilakukan berbagai langkah terlebih dahulu dalam rangka
efisiensi. PHK yang masih menggunakan dalih reorganisasi dan efisiensi
merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang membatalkan bunyi pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam berbagai kasus PHK, buruh adalah pihak yang paling dirugikan karena sumber penghidupan satu-satunya dihilangkan. Sementara bagi pengusaha,
mereka bisa dengan mudah kembali bangkit karena akumulasi modal yang dimiliki,
memperoleh skema kredit dari bank, serta mendapatkan kemudahan insentif dari pemerintah
untuk kembali membuka usahanya.
4)
Pelemahan Terhadap Organisasi Buruh
Kebebasan berorganisasi dan berserikat bagi buruh sesungguhnya telah diatur
secara baik sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Paska reformasi 1998, kebebasan untuk membentuk
serikat buruh didalam satu perusahaan jauh lebih mudah dibandingkan ketika era
pemerintahan orde baru. Dari data yang dirilis oleh Kemenakertrans dari hasil
verifikasi 2014, saat ini tercatat ada 6 Konfederasi, 100 Federasi dan 6.808
Serikat Pekerja/Serikat Buruh tingkat perusahaan. Sebagian besar,
organisasi-organisasi ini lahir setelah tahun 1998.
Kehadiran SP/SB tingkat perusahaan hingga yang memiliki afiliasi ditingkat
nasional diharapkan dapat memberi peran yang optimal untuk meningkatkan
kesadaran buruh, memahami akan hak-hak dasar serta sarana menyampaikan aspirasi
demokratis buruh. Ini sesuai dengan amanat didalam UU 21/2000 Pasal 4 (1),
bahwa SP/SB bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Namun demikian, didalam kenyataan yang berlangsung di perusahaan, aturan
kebijakan tentang organisasi SP/SB tidak otomatis berjalan sebagaimana
mestinya. Secara sistematis terdapat usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan
untuk melemahkan kedudukan serikat buruh agar tidak dapat menjalankan pembelaan
terhadap anggotanya.
Upaya lain adalah dengan tidak memberikan kebebasan bagi pimpinan SP/SB
melakukan aktifitas organisasi diluar perusahaan. Ijin dispensasi dipersulit
dengan berbagai macam alasan, terutama jika kegiatan tersebut melibatkan buruh
dalam jumlah yang besar.
5)
Pemerintah Yang Tidak Berpihak
Didalam hubungan industrial yang terjadi antara buruh dan pengusaha,
peranan pemerintah dibutuhkan guna memastikan tidak terdapat
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak normatif buruh. Melalui Dinas
ketenagakerjaan kota/kabupaten, pemerintah memiliki kesempatan untuk menjalankan
peranannya baik untuk melakukan kerja mediasi maupun pengawasan dan penegakan
aturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Namun seringkali Dinas tenaga kerja sebagai representasi pemerintah
melepaskan tanggung jawab dan peranannya untuk menyelesaikan persoalan
perburuhan. Jika pihak yang berselisih (buruh dan pengusaha) tidak menerima
rekomendasi yang sudah diputuskan oleh Dinas, maka disarankan untuk melanjutkan
upaya penyelesaian melalui pengadilan perselisihan perindustrian. Ketidakberpihakan
pemerintah terhadap persoalan yang dihadapi oleh buruh juga nampak dalam setiap
pengaduan yang dilayangkan buruh. Respon atau tanggapan yang lama menjadi hal
paling lumrah dihadapi oleh buruh.
Serikat Buruh Sejati dan Peranannya dalam Mewujudkan
Hubungan Industrial yang Berkeadilan dan dalam Kerangka Mempersatukan Gerakan
Rakyat di Indonesia.
Serikat buruh sejati adalah organisasi
tempat berhimpunnya kaum buruh, alat perjuangan sejati kaum buruh yang secara
konsisten berjuang terus menerus untuk kepentingan kaum buruh. Dalam pengertian
yang demikian, organisasi serikat buruh yang sedang dibangun ini harus terus
meningkatkan kualitasnya agar benar-benar menjadi cerminan dari organisasi
serikat buruh yang sejati.
Serikat buruh sejati harus memiliki
karakter kuat anti terhadap kapitalisme monopoli (imperialisme). Pandangan ini
berdasarkan pada situasi kongkret bahwa Indonesia adalah negeri yang berada
dibawah dominasi imperialisme, baik dalam aspek politik, ekonomi maupun
kebudayaan. Termasuk disektor industry, dominasi imperialisme nampak dari
kepemilikan modal dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dimana
mayoritas modal berasal dari asing. Dalam keadaan yang demikian, keuntungan
terbesar dari industry di Indonesia akan menjadi milik asing dan bukan
diperuntukkan bagi kesejahteraan kaum buruh.
Serikat buruh sejati juga memahami,
bahwa ditengah krisis ekonomi yang masih terjadi di negeri-negeri imperialisme,
intensitas penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh akan semakin
meningkat. Termasuk di Indonesia, pemerintahan Jokowi-JK sebagai rezim boneka
dipastikan akan melayani kepentingan imperialisme untuk membantu mengatasi
krisis yang terjadi. Hal ini terlihat dari bagaimana kebijakan yang ditempuh
Jokowi-JK dengan menekan upah buruh, mempertahankan sistem kerja kontrak dan outsourcing, mempermudah PHK hingga
melakukan pemberangusan terhadap serikat buruh (union busting). Sehingga, bagi serikat buruh yang sejati, menentang
seluruh kebijakan anti rakyat yang dikeluarkan oleh rezim adalah menjadi tugas
dan tanggung jawabnya.
Didalam pabrik, serikat buruh sejati
harus memiliki sebuah konsistensi dalam memperjuangkan hak-hak demokratis
buruh. Sekecil apapun persoalan yang dihadapi oleh buruh harus mendapatkan
pembelaan dari serikat buruh. Perjuangan serikat buruh sejati didalam pabrik
harus dimuarakan pada terjadinya perjuangan untuk penyusunan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), karena sesungguhnya disinilah pertarungan sesungguhnya,
sekaligus pembeda antara serikat buruh sejati dengan serikat buruh “papan
nama”.
Serikat buruh sejati juga memahami,
bahwa tidak hanya kaum buruh di Indonesia yang mengalami beban penindasan
sebagai akibat krisis dan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim. Kaum tani,
pemuda mahasiswa, perempuan, miskin perkotaan adalah golongan yang juga
menderita akibat kebijakan rezim yang tidak berpihak. Kenaikan harga BBM,
kenaikan harga kebutuhan pokok, adalah contoh dimana kebijakan rezim yang saat
ini berkuasa menghadirkan beban penderitaan tidak hanya bagi kaum buruh, namun
juga sektor masyarakat lainnya. Bagi serikat buruh sejati, mempersatukan
seluruh sector dalam masyarakat dalam sebuah gerakan rakyat adalah bagian dari
tugas dan tanggung jawabnya. Sehingga gerakan rakyat yang terbangun juga akan
memiliki semangat anti-imperialisme dan konsisten dalam menentang seluruh
kebijakan rezim boneka yang tidak berpihak kepada rakyat.
Serikat buruh sejati juga memahami,
bahwa kemenangan sesungguhnya bagi kaum buruh di Indonesia adalah ketika negeri
ini sanggup membangun secara mandiri industri nasionalnya. Sedangkan syarat
bagi indutrialisasi nasional di Indonesia adalah ketika sumber daya dan
kekayaan alam negeri ini tidak dikuasai oleh imperialisme. Dengan kata lain,
monopoli atas tanah dan sumber daya alam, melalui perampasan tanah yang semakin
masif harus ditentang dan dihapuskan dengan menjalankan program reforma agraria
sejati. Bagi serikat buruh sejati hal yang juga menjadi bagian tanggung
jawabnya adalah mendukung sepenuhnya program reforma agraria sejati, melawan
segala bentuk perampasan tanah sebagai syarat pembangunan industri nasional.
Sehingga persatuan kaum buruh dan tani di Indonesia menemukan dasar obyektif
sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan kaum buruh dan rakyat Indonesia. ##
Tidak ada komentar:
Posting Komentar